JAKARTA,Harnas.id-Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengajukan keberatan hak uji materiil ke Mahkamah Agung terhadap pembentukan dan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006 dan No 8 Tahun 2006 terkait pendirian Rumah Ibadat. Uji materiil tersebut diajukan PSI bersama Josiah Michael (anggota DPRD Kota Surabaya dari Fraksi PSI), dan Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) Bandar Lampung.
“PSI menyerap aspirasi masyarakat yang kesulitan membangun rumah ibadat karena terhambat memperoleh IMB. Persyaratan rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang bersifat konsultatif, bisa diterima atau tidak, pada praktiknya seolah dijadikan syarat mutlak dan akhirnya menjadi faktor penghambat dalam memperoleh IMB rumah ibadat,” kata Direktur LBH DPP PSI, Francine Widjojo, dalam konferensi pers, Selasa (07/03/2023).
PSI dan kedua pemohon meminta agar rekomendasi FKUB dalam memperoleh IMB rumah ibadat yang disyaratkan Pasal 9 ayat (2) huruf (e), Pasal 14 ayat (2) huruf (d), Pasal 19 ayat (1), dan Pasal 20 ayat (2) PBM Pendirian Rumah Ibadat dihapus.
“Rekomendasi FKUB sebagai syarat pendirian memicu terjadinya diskriminasi dan limitasi pendirian rumah ibadat, yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” lanjut Francine.
FKUB terbentuk berdasarkan PBM tersebut. Namun, dalam praktiknya, FKUB acapkali tidak maksimal menciptakan kerukunan antar umat beragama, bahkan kerap menjadi faktor penghambat pendirian rumah ibadat, memicu ketegangan antar agama, serta tidak mampu mencegah dan mengatasi kasus larangan-larangan terhadap ibadah, perayaan, maupun pemasangan atribut keagamaan. Kegagalan FKUB ini tercermin dari maraknya kasus-kasus intoleransi di Indonesia.
“Meski sudah memenuhi syarat 90 pengguna dan 60 dukungan warga seperti dalam kasus GKKD Bandar Lampung, IMB rumah ibadat kadang dipersulit dalam memperoleh rekomendasi FKUB. Padahal kebebasan setiap warga negara Indonesia untuk beribadat dijamin oleh Pancasila serta Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945,” tambah Francine.
Kebebasan beribadah juga merupakan hak asasi manusia yang dilindungi Pasal 22 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 18 UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Lebih jauh, PBM juga menghambat terbitnya regulasi lain. Beberapa waktu lalu Anggota DPRD Kota Surabaya dari Fraksi PSI, Josiah Michael, mengajukan usul Raperda Toleransi.
“Raperda itu untuk melindungi dan memberi akses yang sama bagi kelompok rentan dan minoritas Namun, jika Raperda disahkan, pelaksanaannya bakal terhambat oleh aturan yang lebih tinggi yaitu PBM Pendirian Rumah Ibadat,” kata Francine.
PBM yang dibentuk tahun 2006 tersebut setidaknya melanggar 3 asas pembentukan peraturan yang baik berdasarkan Pasal 5 UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu asas dapat dilaksanakan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta asas kejelasan rumusan.
Pertama, tidak terpenuhinya “asas dapat dilaksanakan” karena tujuan PBM Pendirian Rumah Ibadat adalah memperjelas tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam pendirian rumah ibadat namun pemerintah daerah hanya mengurusi hal-hal administratif. Sedangkan alasan, kondisi, dan faktor-faktor yang melandasi diberikannya IMB rumah ibadat merupakan tugas FKUB, seperti kewenangan pemberian rekomendasi sebagai syarat khusus.
Kedua, FKUB yang seharusnya memfasilitasi kerukunan umat beragama, pada praktiknya dapat menggagalkan pendirian rumah ibadat karena tidak memberikan rekomendasi tertulis, sehingga “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” terlanggar.
Ketiga, “asas kejelasan rumusan” juga tidak tercapai karena dalam PBM tersebut dinyatakan bahwa FKUB bersifat konsultatif, namun di peraturan yang sama, rekomendasi pendirian rumah ibadat dari FKUB malah menjadi syarat pendirian rumah ibadat sehingga FKUB ikut berperan menentukan dalam proses administratifnya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie, mengatakan selayaknya ada peninjauan ulang tahapan IMB rumah ibadat.
“Peninjauan ulang ini untuk menghindari birokrasi yang panjang, ruwet, dan terkadang menjadi ajang pemerasan,” ujar Grace.
Konkretnya, kata Grace, harus ada jadwal yang jelas dan batas waktu penerbitan IMB Rumah Ibadat.
“Jika ada keberatan, wajib dilampirkan data siapa yang keberatan. Kalau dukungan harus jelas siapa dan identitasnya, selayaknya dalam hal keberatan juga diterapkan aturan yang sama,” ujar Grace.
Terakhir, kata Grace, pemerintah daerah setempat seharusnya tidak menghambat dan wajib membantu. Misalnya dengan mempermudah izin sementara.