HARNAS.ID – Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak menggunakan prosedur militer untuk memanggil mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Agus Supriatna.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, eks KSAU kini sudah bukan lagi prajurit TNI aktif, sehingga tidak tepat jika proses pemanggilan masih dengan mekanisme kemiliteran.
“Pada saat ini yang bersangkutan bukan lagi sebagai militer. Karena tidak diliputi dengan jabatan militer, sudah menjadi warga sipil pada umumnya,” kata Nurul Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (15/9/2022).
Ghufron mengamini tindakan dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW-101 terjadi saat Agus masih aktif di TNI. Namun, keterangan Agus dibutuhkan penyidik dengan statusnya yang kini menjadi purnawirawan TNI.
Atas dasar itulah KPK menilai pemanggilan dengan cara militer tidak dibutuhkan. Karena, kata Ghufron, Agus bukan lagi perwira tinggi TNI.
“Maka KPK penyelidikan dan penegakan hukumnya dengan prosedur sipil,” ujar Ghufron.
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto ogah berpolemik dalam pemanggilan Agus. Karyoto ingin Agus segera memenuhi panggilan untuk dimintai keterangan.
“Intinya, kalau memang nanti segera mungkin bisa diambil keterangan sudah selesai,” tutur Karyoto.
Agus Supriatna melalui kuasa hukumnya memprotes pemanggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemanggilan Agus yang dilakukan Lembaga Antikorupsi dinilai tidak sesuai prosedur pemanggilan anggota TNI.
“Ini surat pemanggilannya tidak sesuai dengan prosedur, tidak sesuai dengan instruksi panglima dan maupun undang-undang yang berlaku untuk militer, supaya dibetulkan kira-kira seperti itu,” kata Kuasa Hukum Agus, Teguh Samudera, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis, 15 September 2022.
Agus mengatakan pemanggilan kliennya harus sesuai dengan aturan militer. Pasalnya, kejadian dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW-101 berlangsung saat Agus masih aktif di TNI.
Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh merupakan merupakan tersangka tunggal dalam kasus korupsi pengadaan Helikopter AW-101 di TNI Angkatan Udara pada 2016 sampai 2017. Irfan diduga membuat negara merugi Rp224 miliar dalam kasus ini. Kontrak pengadaan Helikopter AW-101 mencapai Rp738,9 miliar.
Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Editor: Ridwan Maulana