HARNAS.ID – Normalisasi hubungan diplomatik yang dilakukan oleh empat negara Arab yaitu Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko serta satu negara non-Arab Bhutan menjadi kado pahit bagi Palestina di tahun 2020.
Kelima negara yang berdamai dengan Israel itu menandakan pengakuan resmi terhadap kedaulatan negara Yahudi itu. Langkah kelima negara tersebut menjadi pukulan telak bagi inisiatif perdamaian yang diimpikan oleh rakyat Palestina.
Terutama kesepakatan negara-negara Arab dengan Israel itu dipandang sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina dan rakyatnya.
Anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Bassam al-Salhi mengatakan normalisasi hubungan diplomatik negara-negara Arab dengan Israel tidak bisa diterima.
Ia mengatakan normalisasi hubungan diplomatik itu akan meningkatkan sikap agresif Israel dan penolakannya atas hak-hak rakyat Palestina.
Menurut Bassam, kesepakatan tersebut bertentangan dengan Resolusi Konferensi Tingkat Tinggi Arab dan Prakarsa Perdamaian Arab yang bertujuan untuk mewujudkan perdamaian dan stabilitas di kawasan Palestina.
Dalam pandangan, Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah, Palestina sebagai sebuah bangsa yang memiliki hak untuk merdeka sangat terganggu dengan keputusan sebagian negara Arab yang berbangga hati menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
“Bangsa Palestina sudah lama kecewa atas beberapa negara Arab karena selama ini mendiamkan resolusi yang dikeluarkan PBB untuk menekan Israel, serta memberdayakan masyarakat Palestina,” kata Rezasyah dilansir Antara, Minggu (27/12/2020).
Pandangan Palestina, beberapa negara Arab tersebut adalah pengkhianat. Pasalnya, mengingkari komitmen yang telah lama mereka sepakati, guna mendukung kemerdekaan dan kedaulatan Palestina.
“Jika saat ini tekanan Israel dan Amerika Serikat sudah berhasil menggoyahkan beberapa negara Arab secara ekonomi, politik, dan psikologi dalam mendukung Palestina, kedepannya mereka akan semakin meninggalkan Palestina, dan hanya mendukung Palestina sebatas moral,” ujar Rezasyah.
Palestina yang sudah merasa dirinya ditinggalkan oleh sesama negara Arab di Timur Tengah akan semakin tergantung pada dukungan Turki dan Iran.
Di tingkat global, lanjut dia, Palestina hanya dapat mengandalkan dukungan dari negara-negara Gerakan Non-Blok dan Organisasi Kerja Sama Islam. Hal ini terutama terkait kepemimpinan Indonesia yang konsisten dan tegas memperjuangkan kemerdekaan Palestina dengan sekaligus juga menolak berhubungan dengan Israel.
“Dengan demikian tampaknya hanya Turki dan Iran sajalah yang dapat menyatakan dirinya sebagai negara yang siap membantu kemerdekaan Palestina.
Turki mendukung secara diplomatik, ekonomi, dan politik. Sementara Iran, siap mendukung lebih jauh lagi, yakni secara militer, kata ujar Rezasyah.
Sementara, Teuku Rezasyah mengatakan berbondong-bondongnya arus normalisasi negara-negara Arab dengan Israel akan meningkatkan rasa percaya diri Israel sebagai negara penguasa yang sah di Palestina, sehingga memperluas aneksasi.
“Israel diperkirakan akan mendiamkan apapun kecaman masyarakat dunia. Dalam pandangan Israel, kecaman tersebut hanya sebatas moralitas, dan akan hilang dengan sendirinya,” ujar dia.
Israel juga sangat diuntungkan dengan diamnya Mesir dan Yordania, yang sudah menandatangani banyak perjanjian damai dengan Israel pasca perang Yom Kippur tahun 1973.
“Israel akan semakin agresif menjadikan Yerusalem Barat dan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negerinya. Diperkirakan Israel akan terus melakukan penggusuran tanah dan rumah warga Palestina, termasuk mempersulit ijin pembangunan rumah dan pemberian fasilitas umum di wilayah yang dikuasainya, kata dia.
Editor: Aria Triyudha