
Harnas.id, DOMPU — Peringatan Hari Kuda Nasional setiap 13 Desember menjadi momentum penting untuk kembali menegaskan perlindungan keselamatan joki anak serta kesejahteraan kuda pacu tradisional. Isu ini kembali mencuat menyusul penegasan sikap Bupati Dompu, Bambang Firdaus, SE, terkait praktik joki cilik dalam ajang pacuan kuda tradisional yang masih ditemukan di sejumlah daerah.
Sikap tersebut dinilai memperkuat urgensi langkah konkret dan terukur dari Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (Pordasi) agar tradisi pacuan kuda tetap lestari tanpa mengorbankan hak anak dan kesehatan hewan. Tanpa regulasi yang jelas, keselamatan joki dan kuda kerap menjadi taruhan dalam setiap perlombaan.
Dari perspektif medis dan kesejahteraan hewan, pakar horsemanship dan equine industry IPB University, drh Budhy Jasa Widyananta, MSi, menegaskan bahwa pacuan kuda dengan joki di bawah umur memiliki risiko yang sangat tinggi, baik bagi anak maupun kuda pacu.
“Risiko bagi joki meliputi tertendang, tergigit, terjatuh, terlempar, hingga tertimpa kuda, dengan dampak mulai dari cedera ringan hingga fatal. Trauma mental dan cacat permanen juga berpotensi merugikan masa depan anak dan keluarganya,” ujar Budhy.
Ia menambahkan, dari sisi kuda pacu, risiko cedera jaringan hingga organ vital sangat besar, terutama akibat terjatuh atau tabrakan saat lomba. Kondisi tersebut dapat berujung pada kelumpuhan bahkan kematian.
“Kematian kuda pacu umumnya disebabkan oleh syok kardiogenik, neurogenik, hipovolemik, atau keputusan euthanasia akibat cedera berat,” jelasnya. Selain itu, Budhy mengingatkan bahwa pelanggaran kesejahteraan kuda—seperti penyalahgunaan obat, overtraining, serta penggunaan cambuk berlebihan—menjadi faktor risiko kecelakaan serius, sebagaimana dicatat oleh International Horse Racing Association.
Menurut Budhy, tantangan terbesar pacuan kuda tradisional saat ini adalah belum adanya standar yang seragam di setiap daerah. Minimnya aturan tertulis dan sanksi tegas membuat pembahasan akar masalah keselamatan sering kali terabaikan.
“Tanpa peraturan dan sanksi yang disepakati bersama, keselamatan joki dan kuda akan terus dipertaruhkan,” tegasnya.
Ia pun mendorong penyusunan regulasi teknis pacuan kuda tradisional sebagai turunan yang lebih sederhana dari peraturan pacuan kuda prestasi. Regulasi tersebut dapat mencakup batas usia minimal joki, kewajiban penggunaan perlengkapan keselamatan seperti helm dan pelindung tubuh, standar latihan, pemeriksaan kesehatan kuda, hingga kelayakan lintasan pacu.
“Peraturan tertulis yang jelas dan disepakati bersama dapat menjadi pelindung dari unsur kelalaian maupun kesengajaan, karena memiliki batasan dan sanksi yang konkret serta terukur,” katanya.
Menanggapi pandangan Koalisi Stop Joki Anak, Budhy menilai praktik joki anak merupakan persoalan kompleks yang tidak bisa disederhanakan. Faktor ekonomi, budaya, minimnya edukasi horsemanship, hingga lemahnya regulasi menjadi penyebab utama yang saling berkaitan.
“Solusi terbaik hanya dapat lahir dari sinergi semua pihak dengan pendekatan yang positif, solutif, dan inovatif, agar tradisi tetap hidup tanpa mengorbankan keselamatan anak dan kesejahteraan kuda,” tandasnya.
Editor: IJS










