HARNAS.ID – Nasib nahas dialami Ida Bagus Ketut Swanda Diana. Pengusaha muda asal Bali itu, harus mengalami kerugian besar, mencapai miliaran rupiah imbas usaha minuman beralkohol yang dijalaninya kandas.
Semula Ida berdagang atau menjadi agen makanan ringan (snack). Dengan iming-iming keuntungan 200 persen, Ida kemudian banting stir, menjual minuman beralkohol bertaraf internasional di Bandara Internasional Ngurah Rai.
Dengan penuh keyakinan, pria dari Pulau Dewata itu memberanikan diri menemui anak perusahaan Angkasa Pura (PT Angkasa Pura Ritel). Dia pun menuruti semua persyaratan yang ditentukan oleh pegawai atau petugas Angkasa Pura Ritel.
Persyaratan administratif diikutinya dari prosedur perizinan hingga jumlah uang jaminan langsung ke rekening perusahaan milik negara tersebut hingga Rp 1 miliar lebih. Lalu, menandatangani perjanjian kerja sama revenue share dengan pihak Angkasa Pura retail pada 28 Maret 2019 dengan Direktur Komersial APR Troficiendy Suroso.
Kemudian berlanjut pada penyerahan uang security deposit Rp 1 miliar lebih, pada 29 November 2019. Singkat cerita Ida merasa senang gerai minuman Beralkohol miliknya di bandara dibuka 2 Desember 2019, dengan simbolis pemotongan pita oleh pejabat terkait.
Bahkan, peresmian gerainya dihadiri langsung kapolsek bandara, pejabat Angkasa Pura Retail dan pejabat Angkasa Pura I Pusat. Namun, baru dua hari menjalani bisnis itu, dagangannya disegel oleh pihak Bea Cukai.
Tindakan penyegelan sempat dibatalkan karena semua minuman yang dia pajang dan perdagangkan telah bercukai. Usut demi usut, ternyata izin penjualan gerai minuman Beralkohol terganjal, imbas AP belum membayar pajak negara PBB sebagai syarat dalam pengurusan izin perdaganagan minuman beralkohol senilai Rp 33 miliar.
Ida Bagus, yang mencoba peruntungan dari usaha berkelas internasional itu justru merugi karena gerainya ditutup. Belum mencoba berjualan malah kemudian dihitung sebagai usaha yang berjalan dan membayar gerai ‘ memotong langsung ‘ uang security deposit.
Yang mengenaskan dan merisaukan hatinya ketika terpojok dengan pilihan harus mengakhiri kontrak agar ‘ Argo’ sewa gerai tidak berjalan. Lalu harus membayar kembali kekurangan sewa senilai Rp 300 juta, dikarenakan kondisi modal yang sudah kering dan mimpi yang kandas.
Dengan sangat terpaksa, Ida kemudian menyerahkan surat tanah milik orang tuanya sebagai jaminan. Sialnya tidak diberi tanda terima oleh pihak APR. Dia mempertanyakan bagaimana perusahaan milik negara berskala internasional tersebut dapat bertindak semena-mena kepada pengusaha pribumi (Bali), tanpa memperdulikan usaha tersebut apakah berjalan atau tidak.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, usahanya itu tidak jalan malah kini dia punya tanggungan hutang dan akan dipidanakan dengan dalih ‘telah mencemarkan nama baik’. Terlebih surat tanah milik keluarga besarnya pun seakan tergadai, karena harus menebus Rp 300 juta agar surat tersebut kembali kepadanya.
Melalui lembaga bantuan Hukum Patriot Garuda Nusantara, Ardika Panjaitan SH, dia kemudian mengajukan somasi serta mendapat jawaban bahwa salah satu orang yang ikut mengurus kerja sama dengan angkasa pura retail tersebut bernama Danang, ternyata hanyalah seorang perantara atau calo.
Menurut Ardika, klienya Ida Bagus hingga kini masih mengharapkan iktikad baik dari Angkasa Pura Retail, meski pihaknya menjajagi kemungkinan menempuh jalur hukum terkait permasalahan tersebut. Sejauh ini pihak kuasa hukum baru melaporkan ke Kantor Ombudsman RI di Jakarta.
Editor: Ridwan Maulana