Polemik Status Konflik Masjid MIAH: Pemerintah Tegaskan Stabilitas, Mahasiswa Soroti Legalitas

Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Bogor Raya menyuarakan kritik terhadap kebijakan Pemkot Bogor terkait penyegelan Masjid Imam Ahmad bin Hambal, Rabu (18/6/2025), mendesak penegakan hukum yang adil dan transparan. Foto: Istimewa
Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Bogor Raya menyuarakan kritik terhadap kebijakan Pemkot Bogor terkait penyegelan Masjid Imam Ahmad bin Hambal, Rabu (18/6/2025), mendesak penegakan hukum yang adil dan transparan. Foto: Istimewa

Harnas.id, BOGOR — Kebijakan Wali Kota Bogor, Dedie A. Rachim, yang menetapkan kawasan pembangunan Masjid Imam Ahmad bin Hambal (MIAH) sebagai wilayah berstatus “keadaan konflik skala kota”, menuai kritik dari Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Bogor Raya. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Wali Kota Nomor 100.3.3.3/Kep.192-Huk.HAM/2025, yang dinilai menimbulkan kontroversi hukum dan sosial.

Dalam pernyataan resminya, aliansi tersebut menyebut langkah Dedie sebagai “keliru secara hukum dan sarat kepentingan politik.” Mereka menyebut penyegelan lahan masjid bertentangan dengan dua putusan PTUN Bandung yang telah berkekuatan hukum tetap, yaitu Nomor 150/Pen.Eks/2017/PTUN-BDG dan Nomor 32/Pen.Eks/2018/PTUN-BDG, yang memberikan izin pembangunan kepada pengelola MIAH.

Ketua Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Bogor Raya, Dadan, menyampaikan bahwa keputusan Pemkot Bogor lebih bernuansa politis ketimbang upaya menyelesaikan konflik secara substansial. Ia menilai Dedie menggunakan isu keamanan untuk membentuk citra kepemimpinan, bukan untuk menyelesaikan masalah secara adil dan terbuka.

“Apa yang dilakukan hari ini bukan bentuk penyelesaian konflik, melainkan eksploitasi konflik untuk membentuk citra kepemimpinan,” ujar Dadan, Rabu (18/6).

Aliansi menyoroti tidak adanya transparansi kajian sosial dalam penetapan status konflik, serta minimnya pelibatan publik, khususnya masyarakat sekitar dan komunitas agama, dalam mengambil keputusan strategis ini.

Sementara itu, pihak Pemerintah Kota Bogor dalam keterangan terpisah menegaskan bahwa penetapan status konflik dilakukan untuk menjaga stabilitas dan menghindari potensi gesekan sosial yang lebih luas.

Pemkot menyebut telah melakukan koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk aparat keamanan, dan menilai langkah ini sebagai bentuk preventif dalam menjaga ketertiban umum.

Meski demikian, hingga berita ini diturunkan, pihak Pemkot belum merilis secara terbuka hasil kajian sosial maupun dasar sosiologis yang menjadi rujukan keputusan tersebut.

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Pakuan, Dr. R. Bambang Yusmarto, menilai bahwa secara prinsip, eksekutif tidak memiliki kewenangan untuk menunda atau membatalkan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah inkrah. Ia menyebut bahwa jika benar penyegelan dilakukan di atas tanah yang telah sah secara hukum, maka tindakan itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administratif dan berpotensi menimbulkan gugatan hukum baru.

“Fungsi pemerintah daerah adalah menjalankan hukum, bukan menafsirkannya secara sepihak untuk tujuan politik atau stabilitas yang bersifat subjektif,” ujarnya saat dihubungi.

Dalam polemik ini, banyak pihak menyerukan pentingnya menjaga netralitas rumah ibadah dari kepentingan politik. Aliansi mahasiswa mengingatkan agar tempat ibadah tidak dijadikan alat pencitraan kekuasaan, terlebih menjelang tahun politik yang semakin dekat.

“Ketika rumah ibadah dipolitisasi, batas antara kekuasaan dan kesucian menjadi kabur,” tegas Dadan.

Polemik penyegelan Masjid Imam Ahmad bin Hambal di Kota Bogor mencerminkan tantangan besar dalam menyeimbangkan antara penegakan hukum, keamanan sosial, dan kepentingan politik. Meski pemerintah berdalih mengambil langkah preventif, kritik dari masyarakat sipil menunjukkan perlunya transparansi dan akuntabilitas lebih tinggi dalam pengambilan keputusan publik.

Kasus ini membuka ruang dialog yang lebih luas mengenai bagaimana pemimpin daerah menyikapi konflik horizontal tanpa mengorbankan prinsip hukum dan hak konstitusional masyarakat.

Laporan: Genta

Editor: IJS