HARNAS.ID – Sejumlah fakta kasus Jiwasraya yang terabaikan di persidangan mulai terungkap ke publik. Kondisi perusahaan asuransi pelat merah itu ternyata baru memburuk di Oktober 2018 atau di era kepemimpinan Hexana Tri Sasongko, eks Direktur Utama.
Menurut Kuasa Hukum Heru Hidayat, Kresna Hutahuruk, ketika mengumumkan gagal bayar, total aset investasi yang masih dimiliki Jiwasraya sekitar Rp 32 triliun. Sementara tunggakan Rp 802 miliar.
“Namun direksi baru (Hexana) ketika itu tidak melakukan penyelamatan pembayaran, malah mengumumkan gagal bayar, yang mengakibatkan nilai saham-saham yang dimiliki AJS turun,” kata Kresna, Minggu (11/7/2021).
Dia pun menegaskan jika kliennya adalah emiten, yaitu seorang yang memiliki saham di beberapa perusahaan, sama seperti Jiwasraya berinvestasi di 100 lebih saham. Kresna mempertanyakan mengapa kejaksaan tidak mempermasalahkan semua emiten?
“Istilahnya ketika kita membeli saham Bank BRI kemudian turun jauh, apakah bisa mempermasalahkan harga barunya? Kan tidak,” ujarnya.
Kresna menilai, kejaksaan hanya mendata aset orang kemudian dikatakan memperkaya diri sendiri, seakan-akan orang tidak boleh punya uang dari hasil keringat mereka sendiri. Bahkan faktanya dalam persidangan, jaksa penuntut umum tidak bisa membuktikan adanya aliran dana Heru Hidayat ke para tersangka lainnya.
“Bagaimana suatu niatan yang baik untuk menyelamatkan Jiwasraya malah dikatakan melawan hukum. Padahal semua tindakan itu, tujuannya untuk menyelamatkan Jiwasraya,” kata Kresna.
Guru Besar Fakultas Hukum Unair Prof Dr Lucianus Budi Kagramanto menilai penegakan hukum kasus Jiwasraya dan Asabri belum sesuai dengan KUHP, KUHAP maupun UU Tipikor. Apalagi menyangkut penentuan kerugian negara.
“Ini harus diperjelas, karena bagi saya masih sangat meragukan. Apa betul yang dilakukan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi negara,” kata Budi.
Jika benar terjadi gagal bayar oleh asuransi, maka kasus Jiwasraya dan Asabri ini sebetulnya masuk ranah perdata, bukan pidana. Sebab, ini terkait dengan pasar modal.
“Penetapan nilai kerugian dalam kasus tersebut serta penurunan nilai saham yang dimiliki Asuransi Jiwasraya dan Asabri ini sebetulnya masuk kajian hukum perdata,” ujarnya.
Dia juga mempertanyakan dasar hukum yang dipakai Kejaksaan Agung dalam melakukan penyitaan, pemblokiran, perampasan aset yang tak terkait perkara korupsi.
“Itu sebetulnya untuk apa, untuk kepentingan siapa, ini tidak jelas. Apakah prosedur-prosedur seperti ini dapat dibenarkan oleh undang-undang? Kejaksaan jangan jadi instrumen negara untuk pemidanaan yang dipaksakan,” katanya.
Pakar Hukum Ekonomi Bisnis ini juga melihat bahwa dampak penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejagung terkesan kurang hati-hati. Termasuk tak memahami dasar investasi saham yang high risk high return.
Akibat penanganan perkara Asabri-Jiwasraya yang dilakukan secara tidak hati-hati itu pada akhirnya mengakibatkan investor asing maupun dari dalam negeri menjadi ragu untuk benanam modal ke Indonesia.
Kondisi ini tentu mengganggu stabilitas ekonomi dalam jangka panjang karena tidak ada jaminan kepastian hukum bagi investor. Sebab kasus ini merupakan business judgement lawfull, yaitu business judgment rule.
Kuasa Hukum PT TRAM dan PT JBU Haris Azhar senada menyebut penanganan kasus Jiwasraya-Asabri adalah kejahatan menggunakan proses penegakan hukum. Menurut dia, penggunaan kekuasaan atas nama proses hukum yang dilakukan Kejagung menciptakan banyak kerugian.
“Kalau dalam militer itu ada namanya perintah komandonya yang memang menikmati semua proses kejahatan berkedok proses penegakan hukum ini. Jelas kriminalisasi,” ujarnya.
“Jadi sebetulnya gagal bayarnya gara-gara Kejaksaan Agung. Kalau saya jadi pemilik polis Jiwasraya waktu itu atau hari ini mungkin saya sudah lapor ke Nabi Musa bahkan sampai ke Tuhan, kelakuan Kejaksaan Agung itu.”
Haris pun menilai ada unsur politis dalam proses penegakan hukum kasus Jiwasraya-Asabri. “Saya nggak bilang ini proses hukum, tapi sudah memang mengarah pada permainan aset. Dan cukup banyak kejahatan permainan aset yang diduga dilakukan pejabat di Kejaksaan Agung itu. Saya punya banyak data soal itu,” katanya.
Argumentasi kejaksaan melakukan lelang aset sitaan perkara Asabri menggunakan Pasal 45 KUHP itu, sangat semena-mena. Terlebih, proses yang dilakukan korps Adhyaksa, merusak bisnis orang dengan merebut asetnya.
“Jadi menurut saya kejaksaan menghianati kepercayaan rakyat makanya sangat wajar jika banyak orang teriak-teriak minta Jaksa Agung diganti dan minta presiden berhenti saja. Itu karena udah tidak ada yang bisa dipercaya di negeri ini,” tuturnya.
Editor: Ridwan Maulana