HARNAS.ID – Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki berbagai pertimbangan untuk tidak membatalkan UU Cipta Kerja secara mendadak meskipun telah dinyatakan cacat formil.
“MK punya pertimbangan sendiri. Dalam konteks ini, harus ada peralihan, transisi, dan peralihan. Jika ada orang berdebat, silahkan,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra, Jumat (3/12/2021).
Pernyataan tersebut disampaikan Saldi saat memberi materi pada kuliah umum bertajuk “Peran dan Tantangan Mahkamah Konstitusi dalam Mewujudkan Hukum dan Politik Demokratis” yang disiarkan langsung di kanal YouTube MK.
Membatalkan UU Cipta Kerja secara mendadak, dalam hal ini setelah menemukan adanya cacat dalam proses pembentukan, dapat memberi implikasi yang begitu besar bagi tatanan hukum di Indonesia. UU Cipta Kerja telah memiliki berbagai peraturan turunan yang berlaku dan menjadi acuan bagi nyaris seluruh elemen masyarakat.
Berdasarkan konstitusi, kata dia, proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak berdasarkan pada UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak memenuhi azas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak melibatkan partisipasi publik yang luas, serta norma yang telah ditetapkan bersama oleh DPR dan Pemerintah mengalami perubahan dan pergantian ketika melalui tahap perundangan.
“Satu saja terbukti, itu cacat formil. Ini sudah empat. Agak berat nich kerja pemerintah dan DPR untuk merevisi undang-undang ini, karena dia harus mengoreksi empat yang dinyatakan keliru oleh Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.
Oleh karena itu, majelis hakim memberikan waktu selama dua tahun untuk memperbaiki UUg Cipta Kerja. Perbaikan tersebut tidak hanya dengan melakukan revisi terhadap UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tetapi juga dengan melibatkan partisipasi publik yang lebih tinggi dalam pembentukan UU Cipta Kerja.
“Nanti UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan akan diperbaiki, bisa juga di dalam undang-undang itu dijelaskan bagaimana partisipasi publik itu dilaksanakan,” ujarnya.
Dia juga menjelaskan bahwa di dalam putusan Mahkamah Konstitusi, terdapat signal implisit untuk para pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah, agar kembali melihat substansi dari undang-undang tersebut.
“Kami (majelis hakim) berharap, pembentuk undang-undang, yaitu pemerintah dan DPR, bisa tenang-tenang membaca putusan Mahkamah Konstitusi. Makanya diberi waktu yang cukup,” tuturnya.
Editor: Firli Yasya