HARNAS.ID – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diduga melakukan intervensi di pasar saham Indonesia. Beberapa waktu lalu lembaga pemerintah tersebut merekomendasikan agar BPJS Ketenagakerjaan melakukan jual rugi alias cut loss enam saham yang menjadi portofolio mereka.
Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad mengkritisi hal tersebut. Menurut dia, instruksi cut loss yang disarankan oleh BPK berpotensi merugikan investor.
Keputusan untuk melakukan cut loss maupun take profit sebenarnya sangat tergantung dari pergerakan harga di pasar. Namun kebijakan tersebut bersifat teknis dan merupakan kewenangan dari direksi dari BPJS.
“Salah satu kiat untuk melokasir risiko adalah dengan meminimalisasi capital loss pada portofolio saham,” ujar Suparji, Minggu (4/7/2021).
Namun yang jadi permasalahan bahwa hal itu dilakukan bukan oleh yang memiliki kewenangannya dalam hal ini BPK. Suparji menyebut rekomendasi cut loss maupun take profit akan berpengaruh terhadap laporan keuangan BPJS.
Apapun tindakannya, pejabat BPJS yang berhak untuk memutuskannya. Sebab kata dia, dampak dari rekomendasi cut loss oleh BPK maka akan berpengaruh pada kondisi pasar bursa di tengah pandemi saat ini.
Artinya, saham-saham yang disebut oleh BPK nantinya akan sepi peminat alias investor ragu menanamkan investasi keenam saham tersebut. “Kondisi ini merugikan bagi trader atau investor termasuk emiten yang disebutkan oleh BPK tersebut,” kata Suparji.
Potensi investor takut dalam melakukan investasi, mengingat opini cut loss sejumlah saham tersebut berpotensi menimbulkan kegaduhan pasar. “Karena itu, harus ada kehati-hatian dalam prosesnya. Agar tidak membuat gaduh di pasar bursa,” katanya.
Sebelumnya mantan Direktur Utama BEI, Hasan Zein Mahmud mengkritisi adanya instruksi BPK untuk melakukan jual rugi (cut loss) ke enam saham yang menjadi portofolio BPJS Ketenagakerjaan.
Keenam saham tersebut antara lain PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), PT London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP), dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG).
Dia menilai, BPK sebagai lembaga tinggi negara seharusnya mandiri dan bebas, memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Karena, menurutnya cut loss dan profit taking adalah terminologi teknis, jadi bila diucapkan oleh BPK akan berkonotasi komando.
Menurut Hasan, pelaksanaan cut loss dan take profit akan secara langsung berpengaruh terhadap kinerja keuangan BPJS. Selain itu, bisa langsung mempengaruhi realisasi rugi laba dan akan berdampak pada keuangan negara.
“Apakah BPK bisa dimintai pertanggungan jawab terhadap kerugian atau opportunity profit yang hilang yang diderita BPJS, akibat perintah cut loss atau take profit?” ujar Hasan.
Editor: Ridwan Maulana