Diduga Peras Dana Pengurus Umat dan Salahgunakan Wewenang, Mantan Kajari Enrekang Dilaporkan ke KPK

Harnas.id, JAKARTA— Dewan Pimpinan Pusat Nasional Corruption Watch (DPP NCW) secara resmi melaporkan mantan Kepala Kejaksaan Negeri Enrekang, Padeli, S.H., M.Hum, kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pelaporan ini merupakan bentuk mosi tidak percaya terbuka terhadap mekanisme pengawasan internal Kejaksaan yang dinilai gagal menjalankan fungsi korektif, lamban merespons kejahatan jabatan, serta sarat konflik kepentingan.

DPP NCW menilai penanganan perkara dugaan pemerasan dan kriminalisasi terhadap BAZNAS Kabupaten Enrekang telah menyimpang jauh dari prinsip due process of law, bahkan menunjukkan gejala perlindungan institusional terhadap pelaku berkewenangan.

Langkah hukum ini diambil setelah Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung RI dinilai tidak menunjukkan keberanian institusional untuk menindak tegas, sementara Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan justru disinyalir membangun konstruksi perkara yang menyesatkan dan mengaburkan substansi kejahatan.

DPP NCW menegaskan, perkara ini bukan persoalan etik internal, melainkan kejahatan jabatan serius yang mencederai rasa keadilan publik, merusak marwah lembaga penegak hukum, serta mempermainkan hukum dengan kekuasaan.

Wakil Ketua Umum DPP NCW, Ghorga Donny Manurung, S.H., M.H., menilai penetapan satu pihak perantara sebagai tersangka oleh Kejati Sulsel merupakan langkah keliru dan berbahaya bagi akal sehat hukum.

“Menjadikan perantara sebagai pelaku utama sementara aktor yang memiliki kewenangan struktural dibiarkan bebas adalah manipulasi penegakan hukum. Perantara tidak memiliki otoritas, tidak memiliki kepentingan, dan bukan penikmat hasil. Yang memiliki kewenangan, memberi perintah, dan diduga menerima serta menggunakan uang hasil pemerasan adalah mantan Kajari Enrekang,” ungkap Donny.

NCW secara tegas membantah narasi aparat yang menyebut dana ratusan juta rupiah sebagai “uang titipan” atau “pengembalian kerugian negara”. Berdasarkan hasil investigasi internal NCW, dana tersebut merupakan hasil pemerasan yang bersifat sistematis, yang baru dikonstruksikan sebagai titipan setelah perkara ini terbuka ke ruang publik dan menuai sorotan luas.

Berdasarkan dokumen keuangan, bukti transfer, tangkapan layar komunikasi elektronik, serta keterangan para pihak yang telah diperiksa, NCW membeberkan sejumlah fakta krusial kepada KPK.

Pertama, dugaan pemerasan dilakukan dengan memaksakan penyelidikan perkara korupsi terhadap BAZNAS Enrekang, padahal dana zakat bukan keuangan negara maupun bagian dari APBD/APBN, sehingga sejak awal proses hukumnya cacat dan dipaksakan demi tekanan.

Kedua, ditemukan aliran dana ke rekening pribadi terlapor melalui pihak perantara dengan dalih kebutuhan operasional dan konsumsi tim penyidik, namun tanpa dasar hukum dan tanpa pertanggungjawaban administratif.

Ketiga, total dana yang diduga diperas mencapai lebih dari Rp2 miliar, jauh melebihi angka yang disampaikan ke publik. Sebagian dana tersebut diduga kuat telah digunakan untuk kepentingan pribadi.

Keempat, terdapat indikasi kuat tekanan psikologis dan pemaksaan finansial terhadap pengelola BAZNAS, dengan tuntutan penyediaan dana dalam waktu singkat sebagai syarat informal penghentian tekanan hukum.

Kelima, NCW menemukan dugaan rekayasa penutupan jejak, melalui skema pengembalian dana secara bertahap untuk membangun narasi seolah-olah dana tersebut merupakan “titipan” yang sah dan utuh.

NCW juga mengungkap informasi serius bahwa dugaan kejahatan ini tidak berdiri sendiri. Terdapat indikasi kuat keterkaitan dengan motif balas dendam politik, di mana terlapor diduga menjalankan tekanan hukum atas perintah pihak tertentu yang memiliki kepentingan kekuasaan lokal, dengan imbalan materiil dalam jumlah besar.

Atas seluruh fakta tersebut, DPP NCW mendesak KPK untuk segera mengambil alih penanganan perkara ini secara independen dan profesional. NCW meminta KPK menetapkan mantan Kajari Enrekang sebagai tersangka utama atas dugaan pelanggaran Pasal 12 huruf e, Pasal 11, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

NCW juga mendesak dilakukan pemeriksaan forensik digital menyeluruh terhadap seluruh alat komunikasi yang digunakan, guna membongkar pola perintah, tekanan, dan koordinasi yang menunjukkan pemerasan terstruktur dan sistematis.

Selain itu, NCW meminta KPK memberikan perlindungan hukum penuh kepada para saksi dan pelapor yang hingga kini masih berada dalam tekanan psikologis dan ancaman kriminalisasi.

Sebagai penutup, DPP NCW menegaskan komitmennya untuk mengawal perkara ini hingga tuntas dan terbuka ke publik.

“Cukup sudah praktik mempermainkan hukum dengan istilah kamuflatif seperti ‘titipan’. Ini bukan soal administrasi. Ini adalah dugaan korupsi dan pemerasan. Jika institusi Kejaksaan gagal membersihkan dirinya sendiri, maka KPK wajib hadir untuk menegakkan hukum dan memulihkan kepercayaan publik,” tutup Donny Manurung.

Editor : hdee