Kemenko PMK Sebut Angka Pernikahan Dini di Jabar Tinggi

Foto: Istimewa

BANDUNG, Harnas.id – Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Femmy Eka Kartika Putri menyebut, angka pernikahan dini di Jawa Barat (Jabar) cukup tinggi sepanjang tahun 2022.

Ironisnya, pernikahan dini ini terjadi akibat faktor budaya, ekonomi, peningkatan penggunaan internet dan media sosial, serta pendidikan yang masih terbatas. Karena itu, ia mengajak seluruh orang tua untuk selalu memberikan pendampingan dan mengedukasi anak-anaknya. Salah satunya berkaitan tentang bahaya pergaulan bebas. Selain itu, tenaga pendidik juga perlu melakukan edukasi tentang bahaya pergaulan bebas dan perkawinan anak.

“Sekolah dan orang tua harus punya ‘bahasa’ yang sama supaya anak-anak ini paham apa yang disampaikan kepada mereka terkait pernikahan dini,” kata Femmy dalam keterangan tertulis, Minggu (15/1/2023).

Pernyataan Femmy dikuatkan dnegan rilis data persentase usia pernikahan warga di Kota Bandung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022 lalu. Berdasarkan data tersebut, 8,81 persen perempuan di Kota Bandung ternyata menikah di bawah umur atau melakukan pernikahan dini.

Dalam data itu juga disebutkan bahwa pada tahun 2020 terdapat perempuan yang melakukan perkawinan di bawah umur 16 tahun sebesar 8,81 persen. “Perkawinan perempuan usia di bawah 16 tahun masih kerap terjadi di Kota Bandung,” kata Kepala BPS Kota Bandung Aris Budiyanto dalam rilisnya.

Dari total jumlah penduduk sebanyak 2.444.160 jiwa di Kota Bandung pada 2020, BPS membagi rasio jenis kelamin dengan rincian 1.231.116 penduduk laki-laki dan 1.213.044 penduduk perempuan. Sementara, BPS mencatat jumlah penduduk dengan usia produktif 15-64 tahun berjumlah 1.723.660 jiwa.

Jika dikalkulasikan dengan data 8,81 warga yang menikah di bawah umur 16 tahun, maka didapat sekitar 300 ribuan mojang Kota Bandung yang ternyata melakukan pernikahan di bawah umur.

Sementara sisanya, 16,03 persen perempuan yang menikah di umur 17-18 tahun, 21,77 persen perempuan menikah di umur 19-20 tahun dan 53,38 persen perempuan yang menikah di umur 21 tahun ke atas.

Padahal sudah jelas disebutkan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan bahwa batas usia pasangan yang menikah minimal berusia 19 tahun. Sedangkan menurut Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), usia pernikahan pertama idealnya adalah umur 21 hingga 25 tahun.

“Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020, sebagian perempuan di Kota Bandung melakukan perkawinan pertama pada umur di atas 21 tahun. Hal ini sejalan dengan persentase pendidikan perempuan di Kota Bandung di mana 53,38 persen berpendidikan SMA ke atas. Dengan demikian secara umum, perempuan Kota Bandung telah memenuhi rekomendasi BKKBN dalam memenuhi usia perkawinan,” ujar Aris dalam rilisnya.

Menurut BPS, rekomendasi BKKBN sesuai dengan hak pendidikan 12 tahun juga diharapkan ketika menikah sudah memiliki kesiapan psikologis. Termasuk kesiapan secara kesehatan reproduksi serta kemapanan material dan mencegah meningkatnya pernikahan anak.

Pasalnya kata BPS, usia perkawinan pertama dapat menjadi salah satu pemicu pertambahan jumlah penduduk, semakin panjang masa reproduksi seorang wanita semakin banyak kemungkinan anak yang bisa dilahirkan. Banyaknya kelahiran yang terjadi pada seorang wanita dapat dipengaruhi oleh masa reproduksinya.

“Perkawinan perempuan di bawah umur masih perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Banyak dampak buruk dari terjadinya pernikahan anak. Selain dampak psikologis dari seseorang yang belum dewasa dan siap untuk menikah, dapat menyebabkan tingginya angka perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, angka kematian ibu dan anak dapat meningkat seiring terjadinya kehamilan di usia muda dan minimnya pengetahuan dan kesadaran mengenai kesehatan reproduksi,” pungkasnya. (PB/*)