Harnas.id, JAKARTA – Pengadaan kapal Offshore Patrol Vessel (OPV) dan tender Fregat yang dilakukan TNI Angkatan Laut diduga terjadi markup anggaran yang begitu fantastis, dan prosesnya pun tidak sesuai prosedur standar yang ditetapkan.
Tidak tanggung-tanggung, pembelian yang bermaksud untuk menjaga keamanan negara maritim seperti Indonesia ini melibatkan mafia kakap seperti Jimmy Wijaya, pemain atau broker yang sudah malang melintang dan mengetahui betul kelemahan peraturan yang ada.
Sekjen Matahukum, Mukhsin Nasir meminta agar Komisi Pberantasan Korupsi (KPK) menyoroti perihal pengadaan kapal Offshore Patrol Vessel (OPV) dan tender Fregat yang dilakukan TNI Angkatan Laut yang melibatkan Jimmy Wijaya.
“Ada pola keterlibatan Jimmy Wijaya sebagai broker. Jimmy diduga menghubungkan vendor asing dengan Kementerian Pertahanan. Pola ini, membuka peluang mark-up hingga deviasi proyek. Pada akhirnya, kondisi ini berujung pada kerugian negara dan lemahnya daya tangkal pertahanan,” ungkap Mukhsin, di Jakarta, Sabtu (24/10/2025).
Nama Jimmy Wijaya secara konsisten muncul dalam dua kasus pengadaan besar. Kasus tersebut adalah Tender Fregat 2020 dan Proyek OPV 2023-2024.
“Nama Jimmy Wijaya konsisten muncul dalam dua kasus besar, Fregat 2020 dan OPV 2023-2024. Perannya sebagai broker membuat proyek pertahanan strategis berubah menjadai arena bancakan. KPK tidak boleh pura-pura buta. Mengusut Jimmy Wijaya adalah pintu masuk untuk membongkar praktik kotor dalam pengadaan Alutsista,” ujar Mukhsin.
Adapun temuan-temuan yang didapat oleh Matahukum sebagai berikut, Proyek OPV 2023-2024: Proyek pembangunan dua kapal (Hull 406 dan Hull 411) ini bernilai total Rp 2,16 triliun. Kontrak sudah ada sejak 2020. Namun, progres sempat macet di kisaran 35% per Maret 2023. Kapal baru diluncurkan pada September 2024. Ini mengindikasikan keterlambatan, potensi inefisiensi, dan risiko bancakan pembayaran termin.
Tender Fregat 2020: Media investigasi menyebut keterlibatan JW (Jimmy Wijaya) sebagai broker utama. Ia diduga mengatur jalur lobi, fee, dan pembagian keuntungan di balik keputusan pembelian fregat TNI Angkatan Laut.
“Keterlibatan Jimmy Wijaya sebagai perantara, bukan entitas teknis atau industri pertahanan, menciptakan konflik kepentingan. Ini menggeser orientasi Pengadaan Alutsista OPV Fregat dari strategis ke kepentingan dagang” papar Mukhsin.
<span;>Potensi Kerugian Negara Ratusan Miliar
Potensi kerugian nyata dari dua kasus ini. Angka kerugian ini mencapai ratusan miliar rupiah.
Biaya Modal Keterlambatan OPV: Nilai kontrak Rp 2,16 triliun dikalikan 8% (biaya modal konservatif per tahun) = Rp 173,1 miliar hanya karena penundaan. Jika asumsi biaya modal 10%, kerugian mencapai Rp 216,4 miliar.
Mark-up dan Bancakan Fee Broker: Mark-up konservatif 5-10 persen pada kontrak Rp 2,16 triliun setara Rp 216 miliar. Pola bancakan fee broker dapat menggandakan kerugian ini.
Kerugian Non-Moneter: Turunnya jam patroli laut dan keterlambatan operasional kapal.
Matahukum meminta agar KPK segera
1. melakukan Audit forensik semua pembayaran OPV. Cocokkan bobot progres dengan termin pencairan.
2. Investigasi khusus peran Jimmy Wijaya dalam OPV dan Fregat. Usut fee dan aliran dana broker.
3. Pembekuan pembayaran mencurigakan hingga audit selesai.
4. Blacklist Jimmy Wijaya dan broker lain yang terbukti berperan sebagai channel fee ilegal.
5. Keterbukaan kontrak strategis kepada publik.
“Jika KPK membiarkan peran Jimmy Wijaya dibiarkan tanpa disentuh, maka KPK sedang melegalkan bancakan di sektor pertahanan… Membiarkan broker mengatur Alutsista adalah pengkhianatan terhadap rakyat.” ujar Mukhsin.
Desakan KPK Usut Jimmy Wijaya ini menjadi penentu integritas pengadaan pertahanan Indonesia. Wn










