Pakar Demokrasi Bedah Maraknya Fenomena Kotak Kosong dan Dominasi Oligarki di Pemilu 2024

Harnas.id, Bogor – Lembaga Studi Visi Nusantara  menggelar diskusi media dengan tema besar “Save Election, Save Democracy”. Diskusi yang diadakan pada hari Jumat, 09 Agustus 2024, ini menjadi ajang bagi para pemikir dan aktivis demokrasi untuk mengupas tuntas fenomena “Kotak Kosong Merajalela; Kaum Oligarki Pesta Pora”.

Diskusi menghadirkan beberapa narasumber yang kompeten di bidangnya, di antaranya Ray Rangkuti dari Lima Indonesia, Yusfitriadi dari VINUS Indonesia, Jojo Rohi dari KIPP Indonesia, dan Rendy N. S. Umboh dari Kornas JPPR. Diskusi tersebut dimoderatori oleh Dea Rahmah dari Lembaga Studi VINUS.

Diskudi ini menjadi ruang strategis untuk menganalisi dan mendiskusikan maraknya fenomena kotak kosong dalam pemilihan umum, serta dampaknya terhadap demokrasi di Indonesia.

Topik yang dibahas dianggap sangat relevan lantaran kekhawatiran publik atas peran oligarki yang semakin mendominasi dalam proses demokrasi, sehingga mengancam prinsip keadilan dan keterbukaan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam setiap pemilu. LS Vinus berharap diskusi ini dapat memberikan wawasan serta solusi konkret untuk memperkuat demokrasi Indonesia di masa depan.

Dengan kehadiran berbagai tokoh yang memiliki latar belakang kuat dalam kajian politik dan demokrasi, diharapkan acara ini dapat memberikan pandangan kritis dan konstruktif terkait isu-isu yang sedang hangat diperbincangkan dalam konteks pemilu di Indonesia.

Menurut Yus, sapaanya, perjalanan Pilkada secara langsung sejak 2015 tergolong berlangsung secara normatif. Pasangan calon melawan kotak kosong pada saat itu hingga 2018 berjalan secara kultural.

Diketahui, kemenangan kotak kosong pernah terjadi pada Pemilihan Wali Kota-Wali Kota Makassar 2018. Saat itu, pasangan calon wali kota dan wakil wali kota adalah Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi. Namun, pada kontestasi pilkada lain, semua kemenangan diraih oleh pasangan calon tunggal.

“Sejak Pilkada pertama kali dimulai, fenomena kotak kosong sudah ada di tiga kabupaten/kota di Provinsi. Kemudian, pada tahun 2017, jumlah kotak kosong bertambah menjadi 9, diikuti dengan 16 kotak kosong pada tahun 2018, dan mencapai 25 pasangan calon yang berpasangan dengan kotak kosong pada tahun 2020,” ungkap Yus dikutip Sabtu, 10 Agustus 2024.

Yus menilai, bahwa hal itu menunjukkan bahwa persoalan kotak kosong bukanlah hal baru, tapi memang lebih terlihat secara kultural lantaran tidak ada calon yang mencalonkan diri.

Untuk Pilkada serentak tahun 2024 ini, Yus memprediksi adanya campur tangan kuat dari oligarki penguasa tingkat pusat yang akan mempengaruhi upaya melawan kotak kosong dalam Pilkada.

Ia menegaskan bahwa rekayasa dari pihak penguasa dilakukan karena adanya atmosfer pasca Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif dan presiden beberapa bulan sebelumnya.

“Kami melihat adanya pengaruh pemilu yang dilaksanakan di tahun yang sama, sehingga atmosfer pemilu kemarin membawa dampak ke dinasti. Indikasi-indikasi rekayasanya sudah mulai terlihat, sebelumnya mungkin tidak terlihat, tetapi sekarang sudah terbuka karena ada upaya rekayasa dengan menggunakan penjegalan dan pemaksaan yang bahkan dapat mengancam,” beber Yus.

Sementara itu pengamat politik dari Lingkar Madani (Lima) Indonesia, Ray Rangkuti menambahkan, bahwa pimpinan pusat yang memberikan mandat langsung kepada kader-kadernya di daerah memberikan peluang lebih besar bagi mereka untuk melakukan manipulasi dalam Pilkada tanpa memperhitungkan potensi-potensi dan nilai kultural yang ada.

“Ini kan main otak-atik bagian upaya untuk memanipulasi posisi, agar kursi kosong Gubernur, Bupati/Walikota bisa ditempati oleh partai politik. Namun jika SK-nya diatur di tingkat Kabupaten, maka variasinya akan sangat beragam,” geram Ray.

 

Editor : Edwin S