JAKARTA, Harnas.id – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa selain ketidakpastian berbagai indikator perekonomian, perubahan iklim juga menjadi tantangan pembangunan yang perlu diwaspadai.
Berbagai respon telah dilakukan pemerintah dalam rangka untuk mengatasi ancaman dari perubahan iklim, misalnya dengan berkontribusi dalam rangkaian kegiatan Conference Of The Parties (COP) United Nations Framework Convention On Climate Change (UNFCCC) yang dibentuk sejak tahun 1992. Dalam hal ini, melatarbelakangi terbentuknya beberapa kesepakatan seperti Paris Agreement dan Glasgow Pacts.
“Di dalam rangka untuk terus berfokus kepada koalisi secara global dalam memerangi perubahan iklim, yaitu bagaimana dunia harus menghindari agar kenaikan suhu tidak melewati 1,5 derajat celcius dibandingkan pada masa revolusi industri. Dengan tekad yang lebih ambisisus ini maka seluruh dunia harus berkontribusi,” ucap Menteri Keuangan pada acara Town Hall Meeting TEMPO bertema “Orang Muda bersama Sri Mulyani Indrawati”, di Jakarta, Kamis (15/12).
Salah satu fokus yang dianggap memberikan kontribusi terhadap kenaikan CO2 terbesar terdapat pada sektor energi. Dalam hal ini, Indonesia berkomitmen menurunkan CO2 melalui Nationally Determined Contribution (NDC) yang sudah disampaikan dalam Paris agreement bahwa Indonesia akan menurunkan 29% persen dengan menggunakan sumber daya sendiri, atau 41 persen dengan dukungan internasional.
Dari sisi pembiayaan secara keseluruhan, Menkeu mengatakan bahwa estimasi biaya yang dibutuhkan hingga tahun 2030 mencapai Rp 4.002,43 triliun untuk bisa mencapai tingkat penurunan CO2 yang diharapkan.
“Untuk bisa menjalankan program penurunan CO2 pasti kita membutuhkan dana yang tidak hanya berasal dari APBN, melainkan bagaimana mengkomparasikan antar negara policy-policy mana yang bisa kita gunakan untuk menarik modal atau dana anggaran yang berasal dari sumber privat dan juga filantropis untuk kita bisa blending di dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan biaya melakukan konversi energi, menjaga hutan serta menangani limbah,” ujarnya.
Lebih lanjut, Menkeu menjelaskan peranan APBN dan instrumen fiskal dalam penanganan perubahan iklim ini dapat muncul dalam berbagai hal, salah satunya dalam melakukan pengembangan energi baru dan terbarukan, serta teknologi bersih melalui berbagai kemungkinan pemberian insentif, seperti insentif perpajakan baik di pemerintahan pusat maupun daerah.
“Kementerian Keuangan juga melakukan berbagai inovasi pembiayaan di dalam rangka untuk mendukung pembangunan yang sustainable atau SDG. Kita mengeluarkan Green Sukuk, SDG Bonds, sekarang ini kita bahkan membentuk yang disebut Badan Layanan Umum untuk mengelola dana-dana untuk climate change. BPDLH adalah salah satu badan untuk pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dana reboisasi. Berbagai dukungan internasional kita juga masukkan disini,” terangnya. (*)