Sri Mulyani Beri Penjelasan Ke Komisi XI DPR    

Foto: Istimewa

JAKARTA, Harnas.id – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (27/3/2023). Dalam raker, Sri Mulyani menjelaskan mengenai transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun di lingkungan Kemenkeu seperti diungkap Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Sri Mulyani awalnya memberikan penjelasan tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam Pasal 1 ayat 5 disebutkan, transaksi keuangan mencurigakan didefinisikan sebagai kegiatan segala sesuatu yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi, dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; dan dalam hal ini PPATK meminta untuk pelaporan dari berbagai pihak yang dianggap terlibat dengan hasil tindak pidana.

“Banyak terminologi yang kemarin muncul dari pernyataan Kepala PPATK mengenai tindak pidana asal, seolah-olah tindak pidana asal karena ada dua instansi di Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan dan tugas melakukan langkah-langkah penanganan tindak pidana asal. Sering masyarakat confuse (bingung) dipersepsikan seolah-olah tindak pidana itu berasal dari Pajak dan Bea Cukai,” ujar Sri Mulyani.

Padahal, kata Sri Mulyani, segala tindak pidana apakah itu korupsi, penyuapan, narkoba, psikotropika, penyelundupan, tenaga kerja, di bidang perbankan, di kepabeanan, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, dan prostitusi memiliki tindak pidana asal.

“Di Kementerian Keuangan ada dua instansi yang memiliki tugas sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil yaitu Pajak dan Bea Cukai. Apabila ada tindak pidana yang ditenggarai dalam domain Kementerian Keuangan, maka PPATK akan me-refer (merujuk) ke kami,” katanya.

Meskipun begitu, Sri Mulyani menjelaskan, tindak pidana asal banyak yang menyangkut hal-hal yang merupakan kewenangan aparat penegak hukum lain.

Sedangkan TPPU berdasarkan Pasal 3 UU Nomor Tahun 2010 maknanya adalah setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Kemudian di dalam Pasal 4 makna TPPU yakni setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

“Ini untuk memberikan scope-nya terlebih dahulu sebelum kami masuk pada surat PPATK yang menjadi heboh di masyarakat,” ucap Sri Mulyani.

Untuk diketahui, Kemenkeu menjadi sorotan masyarakat beberapa waktu belakangan ini setelah adanya dugaan transaksi keuangan mencurigakan sebesar Rp349 triliun.

Transaksi janggal ini awalnya diungkap oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhulkam) Mahfud MD berdasarkan informasi dari PPATK.

Ketua PPATK Ivan Yustiavandana telah memberikan penjelasan kepada Komisi III DPR terkait transaksi mencurigakan itu.

Ia pun mengaku telah menyampaikannya ke Presiden Jokowi melalui Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung. Saat rapat kerja dengan Komisi III DPR, Selasa (21/3), Ivan Yustiavandana menjelaskan, informasi yang beredar soal transaksi mencurigakan Rp349 triliun ada di Kemenkeu adalah tidak tepat.

Menurut Ivan, transaksi tersebut terkait dengan tugas pokok dan fungsi Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal. “Itu kebanyakan terkait dengan kasus ekspor impor, kasus perpajakan. Di dalam satu kasus saja, kalau kita bicara ekspor impor, bisa ada lebih dari Rp100 triliun, Rp40 triliun,” kata Ivan dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Selasa (21/3/2023).(PB/*)