Kemendag Siapkan Langkah Hadapi Hambatan untuk Perkuat Perdagangan Luar Negeri

Foto : facebook.com/ZulkifliHasanOfficial

Harnas.id, Jakarta – Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan menegaskan, Kementerian Perdagangan telah melakukan berbagai langkah strategis dalam menghadapi hambatan-hambatan di sektor perdagangan luar negeri.

Hal ini diungkap Zulkifli dalam acara Trade Corner Special Dialogue CNBC Indonesia ‘Strategi dan Optimisme Kebijakan Perdagangan Luar Negeri hingga Tantangan di WTO’ di Jakarta, hari ini, Kamis (29/8/2024).

“Menghadapi tantangan dan peluang yang ada, Kementerian Perdagangan telah melakukan sejumlah langkah baik secara diplomasi, maupun dalam bentuk kebijakan,” terang Zulkifli.

Untuk perdagangan luar negeri, lanjutnya , pemerintah melaksanakan langkah diplomasi agar hambatan perdagangan dengan negara mitra segera diselesaikan.

Menurutnya, pemerintah melakukan diplomasi agar hambatan perdagangan bisa diselesaikandengan baik.

“Selain itu, Indonesia saat ini berperan aktif di berbagai fora perdagangan internasional untuk meningkatkan nilai ekspor dan memberikan insentif bagi pelaku ekonomi nasional,” imbuhnya.

Zulkifli juga menjelaskan, Indonesia telah menyelesaikan perjanjian dagang dengan 26 negara/ekonomi dan 45 negara yang masih dalam proses perundingan.

Mitra dagang utama Indonesia juga bergeser dari negara G7 ke negara berkembang (Tiongkok, India, Pakistan, Bangladesh, Uni Emirat Arab, Afrika Selatan, Nigeria, Arab Saudi, Vietnam, dan Filipina).

Pergeseran ini didorong oleh pemberian modal, teknologi, dan rantai pasok dari negara non-G7 seperti Tiongkok, serta kebijakan unilateral Uni Eropa yang menghambat laju perdagangan.Saat ini, Indonesia baru saja menandatangani Protokol Perubahan Perjanjian Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (EPA) serta meluncurkan perundingan Indonesia-Gulf Cooperation Council (GCC) Free Trade Agreement.

Indonesia juga memiliki beberapa prioritas perundingan yang dijadwalkan selesai pada tahun ini, seperti Indonesia-European Union (EU) Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), Indonesia-Canada CEPA, dan Indonesia-Peru CEPA.

Indonesia juga tergabung dalam Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), salah satu perjanjian perdagangan terbesar, melibatkan 10 negara anggota ASEAN dan lima negara mitra ASEAN mencakup 29 persen populasi dunia, 27 persen perdagangan dunia, 30persen produk domestikbruto (PDB) dunia, dan 29,8 persen foreign direct investment(FDI) dunia.

Langkah lainnya adalah memperluas ekspor ke pasar nontradisional (Asia Selatan dan Tengah, Timur Tengah, Afrika, dan Eropa Timur).

“Indonesia harus memperluas pasar nontradisional. Kita harus dapat memanfaatkan perkembangan pasar potensial, salah satunya di kawasan ASEAN karena kita sudah mempunyai standar yang sama. Asia selatan juga patut dikembangkan. Surplus terbesar salah satunya dari India yang merupakan pasar yang sangat besar. Begitu juga pasar potensial di Timur Tengah dan Afrika,” terang Zulkifli.

Staf Khusus Mendag Bidang Perdagangan Internasional, Bara Krishna Hasibuan yang turut hadir sebagai narasumber menambahkan, terkait sengketa dagang, sejak 1995 Indonesia terlibat dalam 79 kasus sengketa dagang di World Trade Organization (WTO). Sebanyak 33 Kasus masih aktif, empat kasus sebagai tergugat, empat kasus sebagai penggugat, dan 26 kasus sebagai pihak ketiga.

“Indonesia saat ini digugat oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Australia. Indonesia juga sedang menggugat Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Uni Eropa menjadi negara terbanyak yang dihadapi Indonesia,” urai Bara.

Bara mengungkapkan, Indonesia juga dihadapkan dengan kebijakan Uni Eropa yaitu European Green Deal, European Union Deforestation Regulation(EUDR), Carbon Border Adjustment Mechanism(CBAM) yang merugikan karena mengatur ekspor komoditas utama Indonesia, seperti kopi, coklat, kayu, karet, dan minyak sawit.

Berbagai syarat perlu dipenuhi oleh pengekspor yang akan melakukan ekspor ke Uni Eropa. Kebijakan tersebut akan berlaku secara penuh pada akhir 2024 dan akan membebani eksportir Indonesia yang memiliki buyerdi Uni Eropa.

“Dalam menghadapi sengketa dagang dengan negara mitra, Indonesia memaksimalkan kesempatan penyampaian argumen gugatan dan argumen pembelaan disertai bukti, serta berpartisipasi aktif pada persidangan. Tujuannya agar argumen dan/atau pembelaan Indonesia tersebut dapat diterima dan dibenarkan oleh hakim/panel WTO,” pungkas Bara.

 

Editor : Edwin S