HARNAS.ID – Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendukung wacana penyiapan program dana pensiun sebagai jaminan hari tua bagi kalangan nelayan, yang digagas oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono.
“Dalam beberapa pekan terakhir, Pak Menteri sempat menyampaikan kaitannya dengan asuransi tunjangan hari tua. Ini satu wacana baru yang saya kira menarik. Banyak anggota yang merespon positif inisiatif itu,” kata Ketua KNTI Riza Damanik dalam keterangan tertulis KKP yang diterima di Jakarta, Rabu (24/2/2021).
Riza mengutarakan harapannya agar Kementerian Kelautan dan Perikanan bisa segera merealisasikan program asuransi dana pensiun tersebut, karena dampaknya tidak sebatas memberi jaminan sosial, tapi juga mendorong produktivitas nelayan yang selama ini menjadi kekuatan ekonomi sektor kelautan dan perikanan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menjelaskan, dana pensiun nelayan akan melengkapi program asuransi nelayan yang sudah berjalan, yang meliputi kecelakaan dan kematian.
Sejalan dengan program asuransi nelayan ini, ujar Trenggono, pihaknya akan membenahi tata kelola penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor perikanan tangkap sehingga bisa meningkat dari Rp 600 miliar menuju Rp 12 triliun.
“Hasil dari PNBP itu kita turunkan lagi untuk pembangunan masyarakat nelayan,” ujar Menteri Trenggono.
Dalam pertemuan tersebut, Menteri Trenggono mengajak masyarakat nelayan untuk menekuni budidaya perikanan sebagai sumber penghasilan baru.
Hal itu, ujar dia, karena KKP akan membangun kampung-kampung budidaya berbasis komoditas unggulan lokal dengan melibatkan pemerintah daerah dan kelompok masyarakat.
Sebelumnya, Destructive Fishing Watch (DFW) menginginkan Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat segera merealisasikan berbagai program termasuk jaminan hari tua bagi nelayan dalam rangka menjamin kesejahteraan mereka di usia senja mereka.
“Janji Menteri Kelautan dan Perikanan untuk memberikan fasilitas asuransi berupa jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan jaminan hari tua mesti dapat direalisasikan secepatnya,” kata Koordinator DFW Indonesia, Moh Abdi Suhufan.
Moh Abdi Suhufan mengingatkan pentingnya fasilitasi bagi nelayan karena paling tidak pada saat ini pekerja perikanan dinilai sangat tertekan dengan sejumlah faktor antara lain perubahan cuaca dan iklim, harga jual ikan yang relatif rendah, serta masih belum ada tanda-tanda berakhirnya pandemi.
Untuk itu, ujar dia, opsi sistem gaji bulanan atau bagi hasil sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 42/2016 tentang Perjanjian Kerja Laut mesti diawasi pelaksanaannya.
Hal tersebut, lanjutnya, terutama bagi pekerja sektor kelautan dan perikanan yang memilih sistem bagi hasil, maka harus betul-betul dibuat seadil dan setransparan mungkin sehingga tidak merugikan pekerja.
Editor: Ridwan Maulana