Depok, Harnas.id – Pendidikan harus memiliki keberpihakan dan keberagaman; tidak bisa seragam. Ada kelompok masyarakat, seperti kaum marginal, yang memerlukan pendekatan informal sesuai kondisi psikologis mereka.
” Anak-anak cacat, anak yang terlibat masalah hukum, anak terlantar dan miskin, serta anak tanpa identitas belum semuanya terakomodasi. Negara belum menjangkau semua,” ungkap Nurrohim, pendiri Sekolah Masjid Terminal (Master) di Depok, Jawa Barat pada Senin, 29 Juli 2024.
Sejak tahun 2000, Nurrohim mendirikan Sekolah Master Indonesia sebagai tempat bagi kaum dhuafa dan anak jalanan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Awalnya, kegiatan belajar dilakukan di Masjid Terminal Depok, yang menjadi cikal bakal nama sekolah ini. Kini, Sekolah Master berdiri di lahan seluas 6000 meter persegi dengan jenjang pendidikan dari TK hingga SMA, melayani sekitar 3000 siswa. Semua layanan diberikan secara gratis.
“Di sini, sekolah juga berfungsi sebagai rumah dan tempat perlindungan, semacam negara dalam negara. Ada anak-anak, bahkan yang sudah memiliki anak sendiri, yang masih bersekolah di malam hari. Saya menyediakan asrama untuk mereka. Mereka berasal dari berbagai latar belakang seperti tukang bangunan, sopir, kenek, tukang ojek, dan pedagang asongan. Bicara tentang anak-anak berarti bicara tentang hak sipil dan pengakuan identitas. Di luar negeri, bahkan kucing dan anjing memiliki barcode, sementara di sini anak-anak tidak memiliki identitas yang jelas. Kami melakukan advokasi dan pendampingan hak-hak sipil. Seharusnya ada dukungan dari dinas sosial, dinas pendidikan, dan dinas kependudukan agar anak-anak ini bisa terselamatkan dari jurang kehancuran,” tutur Nurrohim.
Setelah hampir dua dekade, Sekolah Master tetap bertahan dengan menyelenggarakan pendidikan gratis berbasis kerelawanan. Nurokhim menerima siapa saja yang ingin membantu, baik dalam mengajar, membagi ilmu, maupun memberikan materi untuk perkembangan sekolah. Selain mengajar, para relawan juga membantu anak-anak mengembangkan bakat dan minat mereka dalam berbagai bidang seperti komputer, otomotif, bahasa, elektro, musik, perbengkelan, dan klinik.
“Master adalah rumah kedua bagi anak-anak, sebuah oasis. Secara fitrah, mereka membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Semua pengajar di sini adalah relawan yang berperan sebagai pendamping dan sahabat, memotivasi mereka untuk belajar dengan baik, memiliki impian, dan menumbuhkan kepercayaan diri. Dengan bergabung di Master, mereka memiliki jendela masa depan yang lebih cerah dan visi untuk masa depan. Kami hanya mendampingi dan memfasilitasi sesuai dengan bakat mereka. Banyak kalangan datang ke sini, dari berbagai profesi, bahkan mahasiswa dari UI dan kampus lain di Jakarta,” ungkap Nurrohim.
Selain pendidikan formal, Nurrohim melibatkan anak-anak dalam berbagai aksi keagamaan dan kegiatan sosial melalui experiential learning untuk menumbuhkan empati dan kepedulian. “Setiap murid dilibatkan dalam aktivitas seperti patungan untuk berobat jika ada yang sakit, gotong royong membersihkan sampah, dan membersihkan rumah ibadah. Banyak aksi sosial yang melibatkan mereka. Program-program baru dikumpulkan melalui angket dan ide dengan suara terbanyak,” katanya.
Salah satu ide yang berhasil dirintis adalah pembuatan bank sampah di sekolah. Anak-anak bekerja sama mengumpulkan sampah dari rumah warga, mendaur ulang, dan membuat handicraft yang dijual untuk membeli alat kebersihan yang disumbangkan kembali ke sekolah.
Nurrohim mengakui bahwa mendirikan Sekolah Master bukan tanpa risiko. Lahan sekolah sempat menjadi rebutan karena dianggap strategis untuk pusat bisnis di Depok. “Kami melayani yang tidak terlayani dan menjangkau yang tidak terjangkau. Ini membutuhkan mental yang tangguh dan konsistensi. Sekolah ini pernah menghadapi ancaman penggusuran. Kami bersyukur dengan dukungan banyak pihak, termasuk BEM dan aktivis pendidikan, masalah ini dapat diselesaikan dengan pengembangan 2000 meter persegi untuk pengembang dan 6000 meter persegi untuk Master,” kenangnya.
Semangat Nurrohim menolong anak-anak tanpa identitas berangkat dari pengalaman masa lalunya. Meskipun berasal dari keluarga berada, Nurokhim mengalami masa kecil yang keras setelah perpisahan orang tuanya. “Saya merasa kehilangan kasih sayang dan menginginkan keluarga yang harmonis. Setelah tinggal bersama kakek, saya mengalami banyak kesulitan di sekolah. Pengalaman ini membentuk tekad saya untuk membantu anak-anak dari latar belakang serupa,” tutur Nurrohim.
Di luar rumah, Nurrohim bergaul dengan para gelandangan dan memahami masalah mereka. “Saya melihat anak-anak jalanan sebagai korban dari keluarga yang tidak memenuhi kebutuhan dasar. Mereka sering dipaksa menjadi pelacur atau dijual. Melihat mereka membuat saya terdorong untuk peduli dan membantu,” kenangnya.
Nurrohim juga menimba pembelajaran dari berbagai pengalaman hidup dan jaringan sosialnya. Meskipun pendidikan formalnya terganggu, ia terus belajar dan aktif dalam berbagai organisasi. “Saya belajar banyak dari pengalaman dan jaringan pertemanan yang luas. Saya berusaha menggerakkan teman-teman untuk membantu orang lain dan terus menjaga hubungan dengan mereka,” ujarnya.
Pada akhir 90-an, Nurrohim menghadiri reuni di Tanah Abang, Jakarta Pusat, dan menyaksikan banyak warga yang hidupnya tidak lebih baik karena tidak bersekolah. Pengalaman ini membekas dan memotivasi Nurrohim untuk membantu orang miskin mendapatkan pendidikan yang baik. “Saya bertekad membangun sekolah untuk orang-orang seperti saya,” katanya.
Selepas reuni, Nurrohim fokus pada bisnis kios di pasar dekat Terminal Depok. Namun, pengalaman menyaksikan anak-anak jalanan membuatnya terdorong untuk membantu mereka. “Saya merasa perlu untuk peduli dan memberikan perhatian, sehingga saya mulai mengumpulkan anak-anak dan mengurus mereka. Saya mengembangkan pendekatan-pendekatan seperti keluarga sendiri,” kenangnya.
Sekolah Master awalnya didirikan sebagai tempat berkumpul atau rumah singgah bagi anak jalanan. “Sekolah ini berfungsi sebagai rumah kedua, memberikan ketenangan dan kenyamanan jika anak-anak tidak mendapatkannya di rumah. Tanggung jawab utama memang dari rumah, tetapi masyarakat dan negara juga harus peduli dan melindungi,” tegas Nurrohim.
Nurokhim juga memperhatikan potensi konflik, seperti perundungan, di antara anak-anak. Sekolah Master menerapkan konsep tutor sebaya dan menekankan pentingnya pendidikan spiritual. “Kecerdasan spiritual penting untuk membentuk kecerdasan emosional, sosial, dan intelektual. Kami menekankan pada nilai-nilai kebaikan dan kesadaran bahwa berbuat salah itu berdosa,” katanya.
Setelah 17 tahun merintis Sekolah Master, Nurrohim menyaksikan banyak perubahan positif. Banyak anak didiknya melanjutkan ke perguruan tinggi, bahkan ke luar negeri. Nurokhim menerima banyak penghargaan, termasuk sebagai Ashoka Fellow pada tahun 2014. Model pendidikan Sekolah Master juga telah diduplikasi di berbagai daerah. “Kami telah memulai di 20 daerah dan berupaya untuk membawa manfaat bagi orang lain. Setiap orang memiliki potensi untuk membantu masyarakat dan bangsa,” pungkas Nurrohim.
Ke depan, Nurrohim berharap adanya sinergi antara masyarakat dan negara dalam penguatan keluarga di Indonesia. “Pendidikan yang utama dimulai dari keluarga, khususnya peran Ibu. Negara harus memperhatikan peran Ibu dan kesehatan keluarga. Sekolah hanya suplemen; fondasi membangun bangsa dimulai dari keluarga,” tutupnya.
Laporan : Genta