Harnas.id, JAKARTA — Guru Besar Ekonomi Politik IPB sekaligus pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Prof. Didin S. Damanhuri, menyampaikan refleksi akhir tahun terkait perkembangan ekonomi-politik Indonesia sepanjang 2025. Ia menilai pemerintah perlu melakukan penataan ulang arah pembangunan nasional agar kembali selaras dengan amanat konstitusi dan prinsip demokrasi substantif.
Prof. Didin menekankan bahwa tantangan pembangunan 2025–2030 membutuhkan negara yang kuat, bersih, efisien, serta berpihak pada kepentingan publik. Menurutnya, prinsip tersebut telah tercantum dalam Pasal 33, 23, 27, dan 34 UUD 1945, yang menegaskan pentingnya demokrasi ekonomi, tata kelola fiskal yang adil, pemenuhan hak dasar warga negara, serta jaminan sosial bagi seluruh rakyat.
Ia menilai model pembangunan nasional harus mengedepankan keberlanjutan ekonomi, sosial, dan ekologi. Keberhasilan pembangunan, kata dia, hanya dapat dicapai melalui kemitraan yang seimbang antara BUMN, swasta, UMKM, dan koperasi dengan perencanaan jangka panjang yang terarah.
“Negara harus memimpin pembangunan, bukan sekadar menyerahkan semuanya pada mekanisme pasar. Tanpa negara yang kuat dan birokrasi yang bersih, sulit mewujudkan efisiensi yang berkeadilan,” ujar Prof. Didin.
Sorotan Persoalan Struktural
Dalam refleksi tersebut, Prof. Didin juga menyoroti persoalan struktural yang masih menghambat kemajuan Indonesia, seperti menguatnya oligarki ekonomi-politik, biaya politik yang tinggi, lemahnya penegakan hukum, serta praktik rent seeking dan korupsi. Kondisi ini, menurutnya, menjauhkan Indonesia dari demokrasi substantif dan partisipasi rakyat yang bermakna.
Ia turut memberikan evaluasi terhadap pembangunan pada pemerintahan sebelumnya. Ia menilai orientasi pembangunan yang terlalu fokus pada pertumbuhan ekonomi belum diimbangi pemerataan yang memadai. Meski pembangunan infrastruktur masif dilakukan, masih banyak tantangan seperti ketimpangan aset, melemahnya ruang fiskal daerah, dan minimnya dorongan bagi sektor ekonomi rakyat.
“Trickle-down tidak terjadi, yang berlangsung justru trickle-up. Ketimpangan meningkat dan demokrasi ekonomi melemah,” tegasnya.
Agenda Korektif untuk Pemerintahan Baru
Dalam rilis tersebut, Prof. Didin menyampaikan sejumlah agenda korektif bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, di antaranya:
Reformasi regulasi ekonomi dan politik, termasuk UU Pemilu, UU Partai Politik, UU Perbankan, UU Pasar Modal, UU BI, dan penguatan UU Antimonopoli serta pemberantasan korupsi.
Pengembalian perencanaan pembangunan jangka panjang agar tidak bersifat proyek jangka pendek.
Penguatan demokrasi ekonomi berdasarkan Pasal 33, dengan penekanan pada kemitraan dan akses luas bagi UMKM.
Kedaulatan pangan, energi, dan teknologi untuk mengurangi ketergantungan pada modal asing.
Pembangunan sosial-budaya yang memperkuat nilai keluarga, warisan budaya lokal, serta peran civil society dan media independen.
Prof. Didin berharap refleksi akhir tahun ini dapat menjadi rujukan akademis dan moral bagi pemerintah, pembuat kebijakan, dan masyarakat sipil untuk memastikan Indonesia melangkah ke arah yang lebih demokratis, adil, dan berkelanjutan.
“Momentum pemerintahan baru harus dimanfaatkan untuk mengembalikan arah pembangunan sesuai amanat konstitusi. Koreksi masih mungkin dilakukan, dan inilah saatnya,” tutupnya.
Editor: IJS








