Menaker Yassierli Pimpin Sidang Pleno LKS Tripartit Nasional, Bahas Putusan MK dan Upah Minimum 2025

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli dalam Sidang Pleno IV LKS Tripait Nasional pada Senin (5/11/2024). (Foto : Dok. Humas Kemnaker)

Harnas.id, Jakarta – Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli, selaku Ketua Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional, memimpin Sidang Pleno IV LKS Tripartit Nasional yang berlangsung di Jakarta pada Senin (4/11/2024).

Salah satu agenda utama dalam sidang pleno ini adalah membahas tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 yang mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Dalam pertemuan tersebut, Yassierli menekankan pentingnya menghormati putusan MK yang menjadi pedoman baru dalam mengatur ketenagakerjaan dan peraturan terkait lainnya. Ia mengajak semua pihak yang tergabung dalam LKS Tripartit Nasional, termasuk pemerintah, pengusaha, serta pekerja dan buruh, untuk menerima dan mematuhi putusan MK ini.

“Saya kira putusan MK ini adalah sesuatu yang harus kita hormati dan kita patuhi bersama-sama. Selanjutnya, kita akan mencari solusi terbaik untuk bangsa,” ucapnya.

Yassierli juga menekankan bahwa, selain menghormati putusan MK, penting bagi seluruh anggota LKS Tripartit Nasional untuk berdialog secara terbuka dalam merumuskan solusi terbaik. Dialog ini, menurutnya, akan menjadi langkah awal untuk menemukan pendekatan yang tepat, terutama dalam menyelesaikan isu ketenagakerjaan.

Salah satu topik yang dianggap mendesak dalam sidang pleno adalah penetapan Upah Minimum (UM) tahun 2025. Dengan tenggat waktu yang semakin dekat, Yassierli menyebutkan bahwa pemerintah harus segera menetapkan UM provinsi paling lambat pada 21 November 2024, sementara UM kabupaten/kota harus ditetapkan paling lambat pada 30 November 2024. Keputusan ini menjadi krusial mengingat pentingnya kepastian bagi seluruh pekerja dan pelaku usaha dalam menjaga keseimbangan ekonomi.

Masukan dari berbagai pihak dalam sidang ini menunjukkan pandangan yang beragam terkait formula penetapan UM. Dari unsur serikat pekerja dan buruh, terdapat tiga poin utama yang disorot: pertama, memberikan keleluasaan bagi Gubernur dan Dewan Pengupahan Daerah (Depeda) dalam menetapkan UM Provinsi, UM Kabupaten/Kota, dan UM Sektoral yang berlandaskan Kebutuhan Hidup Layak (KHL); kedua, menetapkan UM tahun 2025 tanpa menggunakan acuan PP 51/2023; ketiga, menggunakan survei KHL dari Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota (Depekab/Depekot) dengan memperpanjang waktu penetapan UM hingga 10 Desember 2024.

Di sisi lain, pihak pengusaha memberikan pandangan yang berbeda. Mereka mengusulkan agar PP 51/2023 tetap digunakan sebagai acuan penetapan UM tahun 2025 untuk menjaga kepastian hukum dalam penetapan upah minimum. Para pengusaha juga mengusulkan agar KHL yang digunakan didasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS) untuk memastikan validitas data yang digunakan. Mereka juga menyarankan agar UM Sektoral tidak ditetapkan terlebih dahulu, khususnya bagi sektor-sektor padat karya, guna menjaga stabilitas usaha dan menghindari politisasi dalam penetapan UM.

“Jadi kita fokus dulu pada persoalan upah minimum ini. Semua masukan dari teman-teman di sini akan kita bawa kepada Pak Presiden untuk mendapatkan arahan lebih lanjut,” ungkap Yassierli, menegaskan komitmen untuk mendengarkan aspirasi semua pihak.

Melalui LKS Tripartit Nasional, Kementerian Ketenagakerjaan berupaya mencari titik temu dalam penetapan upah minimum 2025. Dengan keterlibatan semua pihak, diharapkan kebijakan UM yang diambil nanti dapat menjadi solusi yang adil dan tidak memberatkan, baik bagi pekerja maupun pengusaha.

Sidang pleno itu menjadi ajang bagi pemerintah untuk mengharmonisasikan kepentingan yang beragam dengan tujuan bersama, yakni menciptakan iklim ketenagakerjaan yang kondusif dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Editor : Edwin S