Harnas.id, Surabaya – Motif Batik Surabaya Maritim diunggulkan untuk jadi cenderamata khas Surabaya dengan storynomic yang kuat, atau produk ekonomi kreatif yang lekat mengangkat narasi nilai budaya lokal. Keyakinan ini tercetus dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Pengembangan Motif Batik Surabaya Maritim yang diadakan PT Pelindo Marine Service (Pelindo Marine) di Surabaya, Jumat (8/11/2024) kemarin.
Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) anak usaha BUMN Pelindo tersebut tengah getol memberdayakan para perajin batik tulis di eks-lokalisasi Gang Dolly, Surabaya, untuk mengembangkan produk Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang berkelanjutan.
Kegiatan FGD ini mengundang berbagai pemangku kepentingan batik di Surabaya. Maka menjadi kesempatan bagi para perajin batik untuk berdialog langsung dengan dinas terkait di pemerintah kota, dosen sekaligus desainer batik, asosiasi desain grafis, jurnalis, hingga pelaku bisnis dari Pelindo sendiri.
Farah Andita Ramdhani, Kepala Bidang Pariwisata, Disbudporapar Pemkot Surabaya, dalam diskusi ini menyebutkan bahwa Motif Batik Surabaya Maritim memperkaya katalog city branding Surabaya.
“Ini akan jadi produk ekonomi kreatif yang menarik sekali. Karena menjual narasi tentang Surabaya sebagai kota maritim dalam produk batik. Dalam konteks pariwisata, merupakan bentuk storynomic (menjual kota melalui narasi). Bahwa Kota Surabaya bukan cuma ada Mall. Dengan harapannya, maka semakin banyak orang datang ke Surabaya,” terangnya.
Dalam diskusi ini juga terungkap, bahwa Surabaya tidak ada catatan sejarah akar budaya batik. Maka tidak ada pakem tertentu dalam membatik. Maka setiap ada lomba desain Batik Surabaya tidak pernah ada pola yang selalu muncul sebagai karakteristik. Batik di Surabaya pun selalu muncul dengan motif-motif yang kontemporer, seperti tentang bakau Wonorejo, rel Stasiun Pasar Turi, hingga penjual makanan semanggi.
Pengky, salah satu perajin batik pertama yang menggambar Motif Batik Surabaya Maritim, mengungkapkan, ia mengulik dahulu keterkaitan sejarah antara Surabaya dengan maritim. Kemudian kisah yang paling kuat yakni tentang Kerajaan Majapahit (yang berpusat di Mojokerto, di selatan Surabaya) yang kejayaannya terletak pada sektor maritim.
“Uniknya, kini untuk Motif Batik Surabaya Maritim, karena di Surabaya ada Pelabuhan Tanjung Perak yang modern. Maka gambar kapal yang muncul bukan kapal tradisional. Melainkan kapal tunda klasik yang bentuknya khas dengan deretan ban mengelilingi lunas kapalnya. Lalu dihiasi dengan Daun Semanggi (Marsilea Creanata) yang jadi sayuran pecel khas Surabaya juga tergambar dengan bentuk daunnya mirip baling-baling kapal,” jelasnya.
Pengky menambahkan, apabila ada orang datang ke Rumah Batik Putat Jaya (di eks-lokalisasi Gang Dolly) untuk belajar membatik. Maka akan didorong untuk bebas berkreasi.
“Kita bebaskan, jangan terbelenggu dengan pakem. Kita bikin sejarah batik sendiri, sehingga batik Surabaya kesannya modern dan akan lebih bebas (untuk dikembangkan), seperti Motif Batik Surabaya Maritim,” tambahnya sembari mempersentasikan kain batik karyanya di tengah diskusi tersebut.
Sementara Sekretaris Perusahaan PT Pelabuhan Indonesia (Persero)/Pelindo, Ardhy Wahyu Basuki pada kesempatan itu mengingatkan sembari berseloroh.
“Namun perajin batik sebagai UMK juga harus ingat UUD (ujung-ujungnya duit) atau maksudnya juga harus tetap menjaga agar bisnis batiknya menguntungkan,” kata Ardhy.
Ardhy juga berpesan pertama, produknya harus bisa memenuhi selera pasar. Karena itu Pelindo memiliki Program Maritime Preneur dan Gedor Ekspor untuk membawa UMK Indonesia naik kelas dan bisa masuk ke pasar global. Kedua, produk juga perlu memiliki karakteristik. Seperti Batik Surabaya Maritim yang meromantisasi eksotisme sisi maritim kota, sekaligus juga menjadi edukasi maritim bagi masyarakat. Karena potensi maritim Indonesia sangat besar.
Hal ini juga dibenarkan oleh Fabio Ricardo Toreh, desainer sekaligus Dosen Universitas Ciputra Surabaya, menurutnya seniman batik jangan terkungkung dalam paham masa lalu.
“Untuk bersaing dengan produk yang harganya murah, (karena batik tulis dan cap harganya relatif lebih tinggi). Maka kita harus menawarkan produk dengan storytelling (penceritaan nilai/value) dan memahami riset pasar, agar produk sesuai dengan keinginan mereka,” kata Fabio Ricardo Toreh.
“Kami sangat senang ada FGD seperti ini yang difasilitasi Pelindo Marine, kami sebagai fashion designer bisa langsung menyamakan visi dengan perajin, serta dengan pemerintah dan korporasi sebagai pemangku kepentingan pendukung. Semoga bisa dilanjutkan sebagai forum inkubasi, komunikasi, dan koordinasi, untuk bersama memberdayakan batik,” pungkasnya, baru kembali dari Nanchang, China, mendampingi mahasiswinya menerima penghargaan desain mode, Runhua Award 2024.
Editor : Edwin S