HARNAS.ID – Hasil survei KedaiKOPI mengungkapkan bahwa masih terjadi disparitas (ketimpangan perlakuan) penegakan hukum oleh institusi kejaksaan. Bahkan survei tersebut menyebut 81,7 persen masyarakat setuju jika Presiden Joko Widodo berhentikan Jaksa Agung ST Burhanudin.
Hal tersebut terlihat dari 61,8 persen responden menyatakan tidak puas akan kinerja Jaksa Agung memimpin Korps Adhyaksa. Sebanyak 59,8 persen lapisan masyarakat menyangsikan komitmen Jaksa Agung ST Burhanudin dalam melaksanakan reformasi birokrasi di kejaksaan.
Pada penanganan kasus Jiwasraya dan Asabri, sebanyak 30,4 persen responden tidak setuju dengan penyitaan aset yang bukan berasal dari hasil korupsi. Alasan mereka antara lain, merugikan pihak yang tidak bersalah seperti investor sebanyak 49,9 persen dan harus ada pemisahan aset nasabah serta aset perusahaan sebanyak 12,5 persen.
Ada pula 69,1 persen publik menganggap pengusutan kasus Jiwasraya dan Asabri mengganggu roda pasar saham dan investasi di Indonesia. Dalam survei ini, publik juga menyoroti transparansi seleksi CPNS di kejaksaan. Sedikitnya, 52,4 persen responden menyatakan kurang transparan.
Sebanyak 62,4 persen publik pun menengarai praktik jual-beli lowongan CPNS di kejaksaan terjadi dalam skala yang besar. Terkait permasalahan SDM di tubuh kejaksaan, persepsi responden sebanyak 69,5 persen menganggap jaksa atau penyidik sangat diskriminatif saat melakukan penanganan perkara.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta Abdul Fickar berpendapat, survei KedaiKopi valid karena berbasis data. Hasilnya, kata Fickar, bisa dijadikan alat ukur kinerja kejaksaan. Menyangkut disparitas dalam penegakan hukum yang berbeda, seharusnya menjadi cerminan kejaksaaan dalam melakukan perbaikan pelayanan publik.
“Selain itu menjadi dasar untuk menindak pejabat kejaksaan yang memang sengaja melakukan perbuatan pilih kasih,” ujar Fickar, Sabtu (14/8/2021).
Terutama, kata dia, perlakuan pada penjahat atau kriminal dari kalangan sendiri seperti jaksa Pinangki. Seharusnya, jaksa Pinangki mendapat hukuman yang berat, karena di samping sudah ‘melakukan kejahatan’, statusnya sebagai penegak hukum telah menghancurkan nama baik institusi kejaksaan dan profesi jaksa yang terkenal kaya raya dengan hobby foya-foya.
“Ini sungguh sama sekali tidak mencerminkan abdi masyarakat yang baik,” katanya.
Terkait reformasi birokrasi, menurut Fickar, seharusnya bisa menjadi prioritas Jaksa Agung dan kejaksaan. Setidaknya kejaksaan harus dibersihkan dari oknum-oknum yang mewariskan sistem korup. Kewenangan kejaksaan pun harus bisa digunakan sebagai alat memberantas korupsi melalui tuntutan-tuntutan di pengadilan karena jaksa adalah penjaga undang-undang.
Sementara terkait adanya penyitaan aset yang tak berkaitan dengan perkara, Fickar sepakat bahwa tak boleh dilakukan. Pada prinsipnya, penyitaan hanya sebatas pada aset pribadi yang terkait atau hasil kejahatan. Sedangkan aset korporasi apalagi berkaitan dengan masyarakat, seharusnya tidak bisa disita secara serampangan.
“Kejaksaan tidak boleh bermain api, sebab bisa timbul kesan dalam penanganan korupsi. Bukan mustahil muncul persepsi bahwa kejaksaan juga melakukan korupsi atau biasa disebut dengan double crime (kejahatan ganda),” ujar Fickar.
Penanganan kasus tersebut ditengarai mengganggu roda pasar saham dan investasi di Indonesia. Menurut Fickar, itu harus menjadi kesadaran para jaksa penyidik dan penuntut umum bahkan Jaksa Agung yang harus belajar dari banyak literatur bahwa tak boleh menyita aset korporasi secara sembrono, apalagi korporasi yang sudah ‘go public’.
“Sekali lagi saya ingatkan, yang boleh disita itu aset-aset pribadi para terduga korupsinya. Dengan begitu, tidak timbul kesan kejaksaan memanfaatkan kewenangan penyitaannya untuk melakukan tindak pidana,” tuturnya.
Hal itu menjadi diskriminasi terutama terhadap kasus-kasus yang terdakwanya tidak ditahan dan tidak disita asetnya, meskipun banyak bukti menunjukkan bahwa itu hasil dari kejahatan. “Artinya ada permainan oknum kejaksaan yang harus ditertibkan.”
Editor: Ridwan Maulana