Deolipa Yumara Soroti Keputusan Rektor UI Terkait Disertasi Bahlil Lahadalia

Deolipa Yumara Soroti Keputusan Rektor UI Terkait Disertasi Bahlil Lahadalia. Foto: Istimewa
Deolipa Yumara Soroti Keputusan Rektor UI Terkait Disertasi Bahlil Lahadalia. Foto: Istimewa

Harnas.id, Jakarta – Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Deolipa Yumara, mengkritik keputusan Rektor UI, Prof. Heri Hermansyah, yang memberikan kesempatan revisi terhadap disertasi doktor Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia.

Menurut Deolipa, keputusan ini menunjukkan adanya ketidakadilan, mengingat sudah ditemukan sejumlah pelanggaran dalam penyusunan disertasi tersebut.

Deolipa menyoroti beberapa pelanggaran serius yang dilakukan Bahlil dalam penyusunan disertasinya. Ia mengungkapkan bahwa Bahlil menggunakan dokumen milik kelompok LSM tanpa izin, sehingga dokumen tersebut dianggap ilegal. Selain itu, ia menduga adanya peran promotor dan co-promotor yang diduga terlalu mempermudah proses penyusunan disertasi.

Selain itu, ia juga menyoroti kecepatan proses perkuliahan yang dijalani Bahlil, yang menurutnya berlangsung sangat cepat dibandingkan dengan mahasiswa doktoral lainnya.

“Ini sangat memalukan bagi UI. Pelanggaran seperti ini setara dengan kasus plagiat yang sering terjadi pada mahasiswa S1 saat menyusun skripsi. Namun, saat kasus ini menimpa seorang calon doktor, justru diberikan kesempatan revisi,” ujar Deolipa pada Sabtu (15/3).

Deolipa menilai keputusan Rektor UI menunjukkan sikap tebang pilih. Ia membandingkan dengan kasus mahasiswa S1 yang terbukti melakukan plagiat dan langsung dikenakan sanksi drop out (DO), sementara dalam kasus Bahlil, sanksi hanya sebatas revisi disertasi.

“Di Fakultas Hukum dan Fakultas Psikologi UI, ada mahasiswa S1 yang langsung di-DO ketika terbukti melakukan plagiat. Bahkan, teman-teman saya mengalami hal serupa. Sementara itu, Bahlil yang sudah memiliki empat pelanggaran yang diakui oleh Dewan Kehormatan UI justru hanya diminta revisi. Ini sangat memalukan bagi UI,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa keputusan Rektor UI mencederai marwah akademik UI dan seharusnya Bahlil langsung dikeluarkan dari program doktoral, bukan diberikan kesempatan revisi.

Terkait keputusan tersebut, para alumni UI berencana mengajukan petisi sebagai bentuk protes. Deolipa menegaskan bahwa banyak alumni yang melihat adanya ketidakadilan dalam keputusan Rektor UI terhadap Bahlil.
“Banyak alumni UI yang akan mengajukan petisi. Langkah-langkah konkret sedang kami persiapkan untuk menyikapi ketidakadilan ini. Bagaimana mungkin mahasiswa S1 langsung di-DO jika terbukti plagiat, tapi seorang menteri hanya diminta revisi?” ujarnya.

Bahlil diketahui menjalani program doktoral di Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI, program studi yang sering dimanfaatkan oleh pejabat untuk memperoleh gelar akademik.
Deolipa menduga keputusan Rektor UI dipengaruhi rasa sungkan terhadap Bahlil yang menjabat sebagai Menteri ESDM.

“Kelihatannya ini karena rasa sungkan Rektor terhadap seorang menteri. Hal yang sama terjadi pada promotor dan co-promotor yang menguji disertasi Bahlil. Mereka seakan tidak berani mengambil sikap tegas, dan keputusan ini justru mencederai marwah UI,” ungkapnya.

Menurutnya, sikap tebang pilih ini membuat para alumni UI merasa keadilan telah terusik. Oleh karena itu, selain petisi, para alumni juga mempertimbangkan langkah hukum terhadap Rektor UI jika tidak ada keputusan yang lebih adil.

“Jika teguran dan kritik kami tidak diindahkan, kami akan mengambil langkah hukum. Bisa berupa somasi terhadap Rektor UI, bukan terhadap institusi UI, karena ini menyangkut kebijakan pejabatnya,” tegasnya.

Deolipa juga menyinggung adanya perlakuan istimewa UI terhadap Bahlil, yang menunjukkan adanya standar ganda.

“Tampaknya UI memiliki ‘anak emas’. Bahlil seakan mendapat perlakuan khusus, di mana kesalahannya ditoleransi. Padahal, mahasiswa lain dengan pelanggaran serupa langsung dikenakan sanksi berat,” ujarnya.

Ia pun menyarankan agar Bahlil tidak perlu melanjutkan program doktoralnya demi menjaga kredibilitas akademik UI.

“Kalau seperti ini, lebih baik Pak Bahlil tidak usah menjadi doktor. Gelar itu justru akan cacat secara moral. Sebenarnya, gelar S2 saja sudah cukup, daripada mendapatkan gelar doktor yang penuh kontroversi,” pungkasnya.

Kasus ini menjadi sorotan publik karena menyangkut integritas akademik di Universitas Indonesia. Keputusan Rektor UI yang dinilai tidak adil mendapat reaksi keras dari alumni, yang siap mengambil langkah hukum jika kebijakan tersebut tidak diperbaiki.
Sementara itu, pihak UI masih belum memberikan tanggapan resmi atas kritik yang dilontarkan oleh Deolipa Yumara dan para alumni lainnya.

Laporan: Agung

Editor: IJS