Konflik Lahan di Cinere: Warga Diminta Bayar Rp 40 Miliar ke Pengembang Properti

Harnas.id, Depok – Konflik lahan antara warga Perumahan CE, Cinere, dengan pengembang properti berinisial M menjadi sorotan publik setelah Pengadilan Tinggi Bandung memutuskan 10 pengurus RT dan RW harus membayar ganti rugi senilai Rp 40,8 miliar. Keputusan ini dipicu oleh penolakan warga terhadap rencana pembangunan jembatan penghubung yang diinisiasi pengembang.

Pengembang M berencana membangun perumahan CGR di atas lahan seluas 1,6 hektare yang terbagi oleh aliran Kali Grogol. Untuk menghubungkan dua sisi lahan di wilayah Cinere dan Pangkalan Jati, pengembang mengusulkan pembangunan jembatan. Namun, warga Perumahan CE, khususnya Blok A, menolak rencana tersebut karena khawatir akan dampaknya terhadap keamanan dan kondusivitas lingkungan.

Ketua RW 06, Heru Kasidi, menjelaskan bahwa warga tidak melarang pembangunan rumah di lahan milik pengembang. Namun, mereka keberatan dengan pembangunan jembatan karena dianggap akan meningkatkan lalu lintas dan mengurangi keamanan lingkungan.

“Kami hanya menyampaikan aspirasi warga. Tapi kenapa kami, sebagai pengurus RT dan RW, yang disalahkan?” kata Heru, Jumat (20/12/2024).

Pengembang M awalnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Depok pada awal 2024, tetapi gugatan tersebut ditolak. PN Depok justru menghukum pengembang untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 3,2 juta pada Oktober 2024.

Namun, pengembang mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung, yang kemudian membatalkan putusan PN Depok. Dalam putusannya pada 5 Desember 2024, Pengadilan Tinggi memerintahkan para tergugat untuk membayar ganti rugi senilai Rp 40,8 miliar.

Majelis hakim beralasan bahwa penundaan proyek akibat perselisihan ini telah menyebabkan pengembang kehilangan pembeli, dengan 75 persen dari 100 unit rumah yang direncanakan sudah terjual.

“Alasan keamanan yang diajukan warga dianggap berlebihan dan tidak berdasar,” tulis putusan Pengadilan Tinggi Bandung.

Warga Perumahan CE merasa putusan ini tidak adil. Tari, salah satu warga, menuturkan bahwa mayoritas penghuni perumahan adalah lansia yang telah tinggal di sana sejak 1980.

“Saya bingung kenapa pihak pengembang tega menuntut orang tua dengan nominal sebesar itu. Salah mereka apa?” ujar Tari.

Warga juga menyoroti dampak sosial jika jembatan tersebut dibangun, seperti meningkatnya jumlah penduduk dan kepadatan lalu lintas di area perumahan.

“Tantangan ini bukan cuma soal keamanan, tapi juga bagaimana menjaga kualitas hidup di kompleks,” kata Heru.

Pengembang mengajukan pembangunan jembatan dengan alasan kebutuhan akses alat berat ke lokasi proyek. Jalur melalui Pangkalan Jati dinilai terlalu kecil untuk kendaraan besar, sementara akses dari Blok A Perumahan CE dianggap lebih memadai.

Namun, warga berpendapat bahwa pembangunan jembatan bukan solusi yang ideal. Mereka menyarankan agar pengembang mempertimbangkan desain perumahan dengan dua lahan terpisah tanpa jembatan.

Kasus ini menjadi salah satu contoh konflik lahan yang kompleks, melibatkan kepentingan warga, pengembang, dan regulasi pemerintah. Putusan ini juga menunjukkan pentingnya kejelasan hukum dalam proses pembangunan agar tidak merugikan pihak manapun.

Pihak warga dan pengembang kini dihadapkan pada upaya mediasi dan penyelesaian yang adil, mengingat dampak sosial dan finansial yang besar dari putusan tersebut.