Kasus Penembakan TNI-AL: Analisis Hukum dan Solusi Konflik Menurut Soleman Ponto

Ilustrasi penembakan | ANTARA FILES

Harnas.id, Jakarta – Kasus penembakan yang melibatkan anggota TNI-AL dan pemilik rental mobil baru-baru ini menarik perhatian publik. Insiden ini memunculkan berbagai pertanyaan terkait prosedur hukum yang berlaku serta langkah penyelesaian yang tepat. Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais TNI) periode 2011-2013, memberikan pandangannya terkait kronologi kejadian dan akar permasalahan, serta langkah-langkah yang perlu diambil untuk menyelesaikan konflik ini.

Insiden tersebut bermula dari dugaan penggelapan mobil yang melibatkan pihak rental. Untuk mencari kendaraan yang diduga digelapkan, pihak rental tanpa melibatkan kepolisian, justru mengerahkan massa untuk mencari secara paksa.

“Tindakan pengerahan massa ini jelas merupakan bentuk premanisme, karena melibatkan belasan orang yang mencari mobil dengan cara yang tidak sah,” ujar Ponto dalam keterangannya, Sabtu (11/1).

Menurutnya, dalam proses pencarian tersebut, salah seorang anggota TNI yang terlibat justru menjadi korban pengeroyokan dan diteriaki maling. Dalam keadaan terdesak, anggota TNI tersebut terpaksa melepaskan tembakan yang mengakibatkan pemilik rental meninggal dunia.

Penilaian Terhadap Tindakan Pihak Rental
Ponto menegaskan bahwa langkah pihak rental yang mengabaikan prosedur hukum adalah kesalahan besar.

“Pengerahan massa tanpa melibatkan pihak kepolisian jelas melanggar hukum. Kasus ini seharusnya sejak awal dilaporkan kepada pihak berwajib untuk penanganan yang sesuai prosedur,” tegas Ponto.

Ia menilai bahwa tindakan tersebut menunjukkan adanya ketidakpahaman terhadap jalur hukum yang benar, yang pada akhirnya memperburuk situasi.

Mengenai penggunaan senjata api oleh anggota TNI, Ponto menjelaskan bahwa hukum militer mengatur hal tersebut dengan sangat ketat. Ia mengutip Pasal 49 KUHP yang menyebutkan bahwa pembelaan diri diperbolehkan, namun harus memenuhi sejumlah syarat yang ketat, seperti adanya ancaman melawan hukum dan tindakan yang bersifat proporsional untuk menghentikan serangan.

“Pembelaan diri harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada. Hasil investigasi akan menentukan apakah tindakan anggota TNI tersebut memenuhi syarat untuk dianggap sebagai pembelaan diri yang sah,” jelas Ponto.

Ia juga menambahkan bahwa meskipun tindakan tersebut dapat dianggap sebagai alasan pemaaf jika terbukti sah, penggunaan senjata dalam situasi ini tetap melibatkan pelanggaran hukum.

Langkah Preventif dan Peran Kepolisian
Ponto mengidentifikasi bahwa akar masalah terletak pada ketidaktahuan kedua pihak tentang kapasitas masing-masing.

“Pihak rental tidak mengetahui bahwa mereka sedang berhadapan dengan anggota TNI, sementara anggota TNI pun tidak sadar bahwa pihak rental sedang mencari mobil yang diduga digelapkan,” ujar Ponto.

Menurutnya, keterlibatan polisi sejak awal dapat mencegah eskalasi konflik menjadi kekerasan.

“Jika pihak rental melibatkan polisi sejak awal, situasi ini bisa dihindari,” ungkap Ponto.

Ia juga menekankan pentingnya anggota TNI untuk lebih berhati-hati dan segera melaporkan insiden tersebut kepada pihak berwenang untuk menghindari tindakan yang bisa merugikan.

Ponto menilai bahwa insiden ini merupakan pelajaran penting bagi semua pihak untuk mengutamakan penyelesaian konflik melalui jalur hukum.

“Penyelesaian melalui hukum adalah langkah terbaik untuk mencegah kekerasan dan korban jiwa. Anggota TNI juga harus berhati-hati dalam menggunakan kekuatan, agar kejadian serupa tidak terulang,” katanya.

Ia mengingatkan pentingnya pemahaman kapasitas dan wewenang masing-masing pihak agar hukum bisa menjadi solusi utama dalam menghadapi konflik seperti ini.

Saat ini, kedua belah pihak tengah menjalani proses hukum yang sedang berlangsung untuk mengungkap fakta lebih lanjut. Ponto menekankan bahwa transparansi dan penghormatan terhadap jalur hukum yang berlaku sangat penting dalam memastikan keadilan.

“Proses hukum ini harus memberikan keadilan dan menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk memahami kapasitas masing-masing. Semoga ini bisa menjadi momentum untuk menjadikan hukum sebagai solusi utama,” ujar Ponto.

Sebagai seorang mantan anggota aktif TNI, Ponto menegaskan bahwa kasus ini seharusnya diadili melalui peradilan militer. “Meskipun KUHP menjadi dasar hukum yang berlaku, proses peradilan harus tetap dilakukan di peradilan militer, sesuai dengan ketentuan yang ada,” tutup Ponto.

Kasus penembakan yang melibatkan anggota TNI-AL ini menunjukkan betapa pentingnya prosedur hukum yang benar dalam menyelesaikan sengketa. Pihak-pihak yang terlibat, baik pihak rental maupun anggota TNI, perlu lebih memahami peran dan kapasitas mereka dalam menjaga ketertiban hukum. Sementara itu, penegakan hukum yang transparan dan berkeadilan menjadi kunci untuk mencegah insiden serupa di masa depan.