JAKARTA, Harnas.id – Kepiawaian Indonesia dalam bernegosiasi di forum-forum internasional sudah diakui dunia. Bukan hanya di kawasan ASEAN, bahkan di pertemuan negara-negara berpengaruh dunia G20, Indonesia sudah dikenal cukup baik dalam melakukan mediasi.
Atas dasar itu pula, Indonesia kembali mendapat giliran menjabat sebagai ketua perhimpunan negara kawasan Asia Tenggara (ASEAN) pada 2023. Ini adalah kali keempat RI menduduki posisi yang sama setelah sebelumnya pada 1976, disusul 2003, dan terakhir saat 2011 atau sekitar 12 tahun lalu.
Sebagai ketua ASEAN, Indonesia memiliki peran strategis dalam mendorong penyelesaian beragam persoalan baik itu menyangkut internal kawasan maupun terkait dengan negara-negara lain di luar Asia Tenggara.
Di internal misalnya, salah satu masalah yang belum juga tuntas adalah krisis Myanmar. Lima konsensus yang disepakati negara ASEAN belum juga berjalan. Myanmar tidak membuka diri terhadap utusan ASEAN dan tetap melakukan berbagai pelanggaran.
Dalam pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN di Jakarta sebagai rangkaian dari Keketuaan Indonesia pada awal Februari 2023, negara-negara di kawasan sepakat bahwa dalam merespons krisis Myanmar tetap mengacu pada lima poin konsensus.
Menurut Menlu RI Retno P Marsudi, sikap ASEAN merespons krisis Myanmar tidak akan berubah dan akan selalu mengacu pada Konsensus Lima Poin itu (5PC). “Ini sangat penting bagi ASEAN, khususnya ketua, sebagai pedoman dalam menyikapi situasi di Myanmar. Ini menunjukkan persatuan anggota ASEAN untuk mengimplementasikan 5PC,” kata Retno dalam keterangan pers beberapa waktu lalu.
Konsensus Lima Poin disepakati dalam ASEAN Leaders Meeting yang digelar di Sekretariat ASEAN di Jakarta pada 24 April 2021. Lima poin yang disepakati pertama mengakhiri segera kekerasan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri dalam konflik.
Kedua, dialog konstruktif antara semua pihak. Ketiga penunjukan utusan khusus ASEAN untuk proses mediasi. Keempat penyaluran bantuan kemanusiaan oleh ASEAN untuk Myanmar melalui AHA Centre. Terakhir, kunjungan utusan khusus ASEAN ke Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak.
Selain persoalan Myanmar, masalah lain yang tak kalah penting adalah menyelesaikan perselisihan di Laut China Selatan antara China dengan sejumlah negara ASEAN seperti Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Indonesia.
Sudah bukan rahasia umum, China mengklaim wilayah Laut China Selatan mengacu konsep sembilan garis putus-putus. Konsepsi ini telah ditolak oleh internasional karena tidak memiliki landasan.
Perselisihan pun sering terjadi dan memicu gesekan di lapangan. Filipina bahkan membawa kasus ini ke Mahkamah Arbitrase pada 2016 dan Manila berhasil menang. Mahkamah sebut bahwa tidak ada bukti sejarah bahwa China menguasai dan mengendalikan sumber daya secara eksklusif di kawasan itu. Sayangnya, putusan itu tidak digubris Beijing.
Di luar pembahasan dua isu itu, para menteri luar negara-negara ASEAN juga sepakat mendukung bersama peningkatan kapasitas, efektivitas, dan kesiapan ASEAN dalam menghadapi tantangan masa kini dan masa depan serta pengembangan Kerangka Ekonomi Biru ASEAN (Blue Economy Framework).
Ikut dibahas dalam pertemuan Menlu, mengenai identifikasi proyek konkret bersama mitra-mitra ASEAN dan memperkuat kemitraan ASEAN dengan negara-negara Pasifik serta mengembangkan ASEAN Maritime Outlook.
Para menlu ASEAN juga sepakat untuk menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai pusat pertumbuhan. Hal itu sejalan dengan tema Keketuaan Indonesia tahun ini, “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”,
Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kemenlu, Sidharto Suryodipuro dalam kesempatan sama menyatakan, Indonesia perlu melakukan perundingan yang intensif dengan Tiongkok untuk permasalahan Laut Tiongkok Selatan. “Ini untuk mencapai suatu kemajuan dari sisi keamanan kawasan,”ucap Sidharto.
Sementara itu, Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fajar Hirawan menyebutkan, persoalan stabilitas di kawasan Asia Tenggara memegang peranan penting untuk memajukan pertumbuhan dan kesejahteraan di kawasan.
“Saya rasa memang stabilitas di kawasan patut dijaga dalam hal ini Myanmar. ASEAN memang didirikan sebagai forum untuk mengajak semua tumbuh bersama. Tapi kalau ada satu yang punya isu stabilitas, itu akan jadi tantangan tersendiri,” ujar Fajar.
Terlepas dari itu, Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa Indonesia akan memainkan peran penting untuk membawa kemajuan bagi kawasan Asia Tenggara serta di Indo-Pasifik yang damai, sejahtera, dan stabil di masa mendatang.
Termasuk saat hadir pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN 2022 di Phnom Penh, 14 November 2022 lalu, Presiden kembali menegaskan bahwa ASEAN harus menjadi pusat kegiatan diplomasi dan mampu berkolaborasi dengan negara-negara dan semua kekuatan di Indo-Pasifik. (PB/*)