Webinar Merajut Nusantara di Gelar, Bahas Efektivitas dan Hambatan Program Tol Langit

DEPOK, Harnas.id – BAKTI KOMINFO kembali bekerjasama dengan KOMISI 1 DPR RI untuk mengadakan acara webinar Seminar merajut nusantara, kali ini acara diadakan jumat 31/03/2023 di studio atlantis edutech dan menghadirkan tiga narasumber yaitu, Anggota komisi 1 DPR RI, Rizky Natakusumah, Prof. DR. Henri Subiakto . selaku guru besar komunikasi UNAIR dan DR (cand) Verdy Firmantoro selaku Direktur Eksekutif The Idea dan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya.

Acara yang bertemakan “efektivitas dan hambatan program ‘tol langit’ di wilayah perairan dan pegunungan” di ikuti oleh berbagai komunitas muda wilayah Kabupaten Lebak dan Pandeglang Banten.

Dalam acara tersebut,  Rizki Natakusumah menyampaikan, bahwa acara tersebut digelar dalam rangka silaturahmi dan mendengar aspirasi dari anak- anak muda, terkhusus wilayah Lebak dan Pandeglang Banten.

Sebagai salah satu anggota  DPR RI perwakilan  Banten, Rizki mengaku memiliki kewajiban untuk mendengarkan isu-isu yang disuarakan anak- anak muda di  Banten. Menurut dia, sebagai wakil rakyat perwakilan  Banten dirinya bisa menjembatani aspirasi masyarakat.

Disampaikan Rizki, sebagai wakil rakyat, Selama ini, jaringan internet hanya menyambungkan sebagian wilayah di Indonesia, terutama di kota-kota yang banyak penduduknya. Wilayah terpencil di kota-kota terluar di Indonesia yang jarang penduduk, masih “fakir sinyal” bahkan tanpa sinyal sama sekali  atau blank-spot.

Operator telekomunikasi swasta enggan masuk ke sana, lantaran tidak ekonomis. Potensi pemasukkannya tidak sebanding dengan ongkos investasi yang mahal. Nah, untuk membuka isolasi tersebut, pemerintah menggagas Palapa Ring.

Nama terakhir adalah sambungan jaringan kabel optik sepanjang lebih dari 22.000 kilometer (km), di darat maupun di dasar laut  yang menghubungkan titik-titik blank-spot tersebut.

“Jadi Palapa Ring Barat dan Tengah sudah beroperasi, yang sedang diselesaikan adalah yang Timur, dan yang akan dilakukan selanjutnya adalah bagaimana pemerintah menyedian internet kecepatan tinggi untuk sekolah, puskesmas, kantor desa, kantor Polsek, Koramil dan lain sebagainya. Dalam melakukan tahapan program ini, prosesnya membutuhkan waktu beberapa tahun. Namun, yang terpenting untuk dilakukan sekarang ini adalah mempercepat penggunaan satelit untuk daerah-daerah 3T dengan cara menyewa satelit terlebih dahulu. Jadi akhir tahun 2022 satelit milik kita sudah ada, namun sebelum itu kita harus cepat juga, jadi kita sewa saja satelit orang lain yang mirip untuk bisa dilakukan percepatan, inilah yang disebut Tol Langit karena satelitnya di langit yang semuanya menghubungkan broadband dan sebagainya, jadi mungkin orang melihatnya itu lah tol langit.” Tukasnya.

Sementara itu, Prof. DR. Henri Subiakto selaku guru besar komunikasi UNAIR turut mengamini apa yang disampaikan oleh Anggota komisi 1 DPR RI dapil Lebak Pandeglang ini. Ia juga memaparkan bahwa pembangunan tol langit bukan hanya untuk kepentingan ekonomi semata, melainkan juga untuk mempermudah konektivitas di Indonesia yang berstatus sebagai negara kepulauan.

Untuk mempercepat pelayanan pendidikan, mempercepat pelayanan kesehatan, mendukung sinergi budaya nusantara, dan tentu saja untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan kita sebagai sebuah negara besar. Dalam pembangunan konektivitas digital dan talent digital, pemerintah telah meluncurkan berbagai program. Mulai dari penyediaan kapasitas satelit multifungsi pemerintah (Satria), hingga pembangunan menara BTS yang tersebar di berbagai wilayah.

“Tol langit dibangun karena indeks infrastruktur Indonesia di Asean bukan yang paling terdepan dan masih tertinggal di belakang Singapura, Thailand, Vietnam, dan Filipina juga merupakan negara kepulauan yang sama seperti Indonesia namun tidak lebih luas. Tdak mungkin menggunakan kabel fiber optik untuk menjangkau daerah tertentu di Indonesia. Di mana terdapat kebutuhan Indonesia untuk 214.000 sekolah Indonesia, ini dapat dilakukan dengan menggunakan satelit yang menjadi kombinasi antara Palapa ring” tuturnya.

Sebagai narasumber terakhir, DR (cand) Verdy Firmantoro, selaku Direktur Eksekutif The Idea dan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya memaparkan tantangannya bagi kita negara kepulauan itu membangun di semua wilayah Indonesia yang terdiri dari pada kepulauan.

Sedangkan Singapura, Malaysia, dan Thailand terutama mereka negara daratan (di mana untuk) narik fiber optik juga lebih gampang dan kita (Indonesia) terlambat. Kenapa Malaysia sudah terdepan dalam hal internet.

Pada tahun 1996 perdana menteri Malaysia, Mahathir Bin Mohamad mendeklarasikan “Malaysia Super Corridor”. Program itu adalah pembangunan fiber optic jaringan di daerah penting yaituu Putrajaya dan Kuala Lumpur. Walaupun belum mencakup seluruh Malaysia, tetapi sudah dimulai pada 1996 atau 23 tahun yang lalu. Sedangkan di Indonesia konsep Palapa ring sebelum Palapa ring sudah ada sekitar tahun 2004-2005 dan eksekusinya baru dimulai sekitar 11 tahun setelahnya pada 2015.

“Kesenjangan antara perkotaan dan wilayah terpencil akan akses sinyal memang wajar. Ini karena tata letak geografis Indonesia yang sangat menantang. Banyak masyarakat yang tinggal di atas pegunungan hingga pulau-pulau terpencil yang sangat sulit mendapatkan akses infrastruktur. Itu, sebabnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) terus membangun BTS-BTS baru di wilayah 3T. Agar semakin banyak masyarakat yang mendapatkan akses komunikasi. Supaya komunikasi bisa lebih merata di seluruh Indonesia” katanya.

Sebagai penutup dari ketiga narasumber disepakati bahwa hingga saat ini masih ada sekitar 11 persen wilayah Indonesia yang belum terhubung sinyal seluler. 11 persen wilayah tersebut terdiri dari 5.300 desa, di mana 3.500 desanya berada di wilayah Papua.

Untuk mewujudkan target tersebut, BAKTI tengah membangun ribuan menara sinyal seluler (Based Tranciever Station/BTS) di berbagai titik kosong (blank spot) yang tidak dilirik operator karena faktor bisnis, terutama di daerah 3T (Terdepan Terluar dan Tertinggal). Menyelesaikan 11 persen wilayah Indonesia yang belum terhubung sinyal seluler bukanlah perkara yang mudah, mengingat kondisi daerah blank spot tersebut sangat sulit dijangkau. Tentunya BAKTI tidak bisa bekerja sendiri. Masyarakat juga dilibatkan dalam kaitannya dengan penyediaan lahan dan pembangunan BTS.