
Harnas.id, JAKARTA – Perbedaan dalam penetapan awal Ramadhan antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) bukanlah hal baru di Indonesia. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa Muhammadiyah tidak mensyaratkan hilal harus mencapai ketinggian 3 derajat seperti yang diterapkan oleh NU atau pemerintah. Perbedaan ini muncul karena adanya metode yang berbeda dalam menentukan awal bulan hijriyah.
Perbedaan Metode Penetapan Awal Ramadhan
NU menggunakan metode Rukyatul Hilal yang dikombinasikan dengan Hisab Hakiki Imkan Rukyat sebagai acuan dalam menetapkan awal bulan hijriyah. Dalam metode ini, kriteria yang digunakan adalah tinggi hilal minimal 3 derajat dan sudut elongasi minimal 6,4 derajat (3-6,4). Dengan kata lain, NU menetapkan bahwa hilal harus benar-benar dapat dilihat secara langsung agar awal bulan baru bisa ditetapkan.
Sebaliknya, Muhammadiyah menggunakan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal yang lebih menekankan pada perhitungan astronomi tanpa harus menunggu hasil rukyat secara langsung. Dalam metode ini, bulan baru dapat dimulai apabila memenuhi tiga syarat kumulatif saat matahari terbenam pada tanggal 29 bulan hijriyah:
- Telah terjadi ijtimak (peristiwa ketika Matahari, Bumi, dan Bulan berada dalam satu garis lurus).
- Ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam.
- Saat Matahari terbenam, piringan atas Bulan masih berada di atas ufuk.
Jika salah satu dari ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi, maka bulan berjalan akan digenapkan menjadi 30 hari, dan bulan baru dimulai pada lusa.
Persamaan antara NU dan Muhammadiyah
Meskipun terkesan berbeda, NU dan Muhammadiyah sebenarnya memiliki kesamaan dalam metode yang digunakan. Kedua metode ini sama-sama berpedoman pada keberadaan Bulan di atas ufuk saat Matahari terbenam pada hari konjungsi (ijtimak). Hal ini sesuai dengan perintah Nabi Muhammad SAW:
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal), dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika terhalang, maka sempurnakanlah bulan menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Muhammadiyah berpendapat bahwa dengan adanya kepastian perhitungan astronomi, maka keputusan mengenai awal bulan hijriyah dapat lebih konsisten. Sementara itu, NU tetap mempertahankan rukyat sebagai bagian dari tradisi syariat dalam menentukan awal bulan.
Kriteria Hilal di Berbagai Negara
Perbedaan kriteria hilal tidak hanya terjadi di Indonesia. Beberapa negara memiliki standar yang berbeda dalam menentukan visibilitas hilal:
- MABIMS (forum negara-negara Islam di Asia Tenggara) menetapkan ketinggian minimal 3 derajat dengan elongasi 6,4 derajat.
- Mesir mensyaratkan ketinggian minimal 4 derajat.
- Komunitas Muslim di Amerika menggunakan standar yang lebih tinggi, yaitu minimal 15 derajat.
Karena adanya perbedaan standar ini, Muhammadiyah memilih metode hisab yang dianggap lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan imkan rukyat, yang terkadang masih menimbulkan perdebatan mengenai parameter yang digunakan dalam melihat hilal.
Perbedaan penetapan awal Ramadhan antara Muhammadiyah dan NU bukan sekadar perbedaan teknis, tetapi juga berkaitan dengan pendekatan yang digunakan dalam memahami syariat. NU lebih menekankan aspek pengamatan langsung, sedangkan Muhammadiyah lebih mengandalkan perhitungan astronomi. Kendati demikian, kedua metode ini tetap berlandaskan pada prinsip yang sama, yakni memastikan bahwa awal bulan hijriyah ditetapkan dengan dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan syar’i.
Editor: IJS