HARNAS.ID – Undang-Undang (UU) No 32/2002 tentang Penyiaran dinilai perlu direvisi, bukan sekadar menguji sejumlah pasal. Menurut Akademisi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Ade Armando, jika memang UU ini ingin disesuaikan dengan perkembangan zaman, harus ditulis ulang.
Saat dihadirkan sebagai ahli dalam pengujian Undang-Undang Penyiaran secara daring di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (16/11/2020), Ade menyebut revisi regulasi itu telah disiapkan sejak beberapa tahun terakhir oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan pemerintah.
Sementara itu, mengubah satu pasal seperti yang dimohonkan oleh RCTI dan INews TV dinilai Ade justru akan menimbulkan persoalan yang serius. Di antaranya karena pemohon menyamaratakan semua bentuk layanan over the top (OTT), termasuk media sosial serta aplikasi pertemuan daring.
Pemohon, ujar Ade melanjutkan, semestinya hanya mempersoalkan layanan media OTT, seperti Netflix, YouTube serta jasa video on demand lainnya. Ini, dua hal yang berbeda dan tidak bisa disamaratakan. “Perbedaan keduanya mempunyai implikasi yang sangat serius,” tutur Ade Armando.
Jika permohonan itu dikabulkan, tidak hanya Netflix, YouTube dan jasa video on demand yang terkena dampak, melainkan semua bentuk konten di internet harus mengikuti Undang-Undang Penyiaran serta tunduk pada otoritas Kementerian Kominfo, termasuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Hal itu tak hanya akan menimbulkan kerumitan birokrasi, melainkan mematikan kreativitas masyarakat. Adapun pemohon PT Visi Citra Mulia (INEWS TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) persoalkan pengaturan penyiaran berbasis internet dalam Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran ambigu.
Selain itu menyebabkan ketidakpastian hukum. Para pemohon dalam pengujian regulasi tersebut di Mahkamah Konstitusi Jakarta, sebagaimana dikutip Antara, lantas meminta agar penyedia layanan siaran melaui internet itu turut diatur dalam Undang-Undang Penyiaran.
Editor: Ridwan Maulana