Ilustrasi KTP-el | IST

HARNAS.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima USD 5.956.356,78 atau setara dengan Rp 86.664.991.149 dari US Marshall. Uang tersebut berasal dari pengembalian aset atau asset recovery penanganan perkara tindak pidana korupsi KTP-el. 

“KPK menerima dana sebesar USD 5.956.356,78 atau setara dengan Rp 86.664.991.149 dari US Marshall, yang berasal dari asset recovery penanganan perkara tindak pidana korupsi KTP-el,” kata Plt Jubir KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Senin (27/6/2022).

Pemberian asset recovery tersebut diserahkan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia di Gedung Merah Putih KPK pada hari ini. Hadir pada kegiatan ini Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia H.E. Sung Y. Kim, Legal Attach FBI Robert Lafferty, Supervisory Special Agent FBI John Pae, beserta jajaran dari USAID.

Sementara pihak KPK yang hadir dalam kegiatan ini yakni, Ketua KPK Firli Bahuri, Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring Pahala Nainggolan, Deputi Bidang Informasi dan Data Mochamad Hadiyana, Direktur Penyidikan Asep Guntur R dan Direktur Penuntutan Fitroh Rohcahyanto, serta para Pejabat Struktural KPK lainnya. 

H.E. Sung Y. Kim mengatakan, pengembalian aset ini menunjukkan kemitraan yang sangat baik antara Indonesia dan Amerika Serikat dalam upaya memerangi korupsi dan memastikan penegakan hukum berjalan transparan. Menurut Sung Y. Kim, investigasi bersama dalam perkara KTP-el antara KPK dan FBI merupakan keberhasilan yang luar biasa dalam penindakan kasus korupsi. 

“Ini salah satu contoh konkret bagaimana kedua negara saling bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama dalam pemberantasan korupsi,” ucap Sung Y. Kim.

“Seiring dengan kolaborasi kedua negara, saya yakin kita akan mencapai keberhasilan bersama-sama. Saya juga yakin seiring dengan kerja sama ini, kita memiliki komitmen bersama untuk bisa saling mendukung satu sama lain,” ucap Sung Y. Kim menambahkan.

Sung Y. Kim berharap uang tersebut nantinya bisa dialokasikan untuk mendukung kegiatan antikorupsi di Indonesia. KPK sendiri akan memanfaatkan dana hasil asset recovery ini untuk mendukung penanganan perkara tindak pidana korupsi dan membangun budaya antikorupsi. 

“Sehingga terwujud masyarakat Indonesia yang maju, makmur, sejahtera, dan bersih dari korupsi,” ujar Ali.

KPK mengapresiasi Pemerintah AS yang telah membantu KPK dalam upaya pemberantasan korupsi khususnya pada penanganan perkara KTP-el. Dimana uang asset recovery ini selanjutnya telah disetorkan KPK ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Banyak hasil nyata yang telah kita capai dalam implementasi kerja sama antara kedua negara khususnya di bidang penindakan, dan salah satu wujud nyatanya adalah penyelesaian perkara KTP-el,” ucap Firli.

Berdasarkan informasi uang itu berasal dari Direktur Biomorf Lone Johannes Marliem yang sebelumnya disita. Jumlah tersebut masih kurang jauh, bila dibandingkan hasil penyelidikan Biro Investigasi Federal (FBI) Amerika Serikat yang menelisik aset milik Johannes.

Pemilik vendor sistem identifikasi sidik jari otomatis itu, diduga menerima lebih dari 50 juta dolar Amerika untuk pembayaran subkontrak proyek KTP Elektronik di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia.

Hal itu terungkap dalam sidang upaya perampasan aset Johannes Marliem di Pengadilan Minnesota, Amerika Serikat, akhir September 2017 lalu. Johannes Marliem sendiri sempat dimintai keterangan oleh FBI.

Agen khusus FBI, Jonathan Holden mengatakan sebagian duit itu mengalir ke rekening pribadi Marliem. Bedasarkan hasil penyelidikan itu, maka KPK bekerjasama dengan FBI untuk mengembalikan kerugian negara dalam proyek KTP Elektronik sebesar Rp 2,3 triliun.

Sebagai informasi, Johanes Marliem merupakan salah satu saksi dalam kasus korupsi proyek KTP-el. Marliem disebut sebagai salah satu saksi kunci kasus KTP-el.

FBI membantu KPK karena profil Marliem yang awalnya adalah warga Indonesia yang beralih kewarganegaraan menjadi warga negara AS. Marliem dinyatakan tewas di Los Angeles pada tahun 2017 dirinya tewas karena bunuh diri. 

Sejumlah pihak telah dijerat oleh KPK. Di antaranya, mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, Andi Agustinus, mantan pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto, pengusaha Made Oka Masagung, Dirut PT Shandipala Arthaputra, Paulus Tanos, Mantan Dirut PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo, dan Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik (PNRI) Isnu Edhi Wijaya.

Dalam persidangan dengan terdakwa Setya Novanto, Anang Sugiana mengaku uang korupsi KTP elektronik berasal dari Dirut PT Biomorf Johanes Marliem. Uang tersebut dibagi-bagikan sebagai fee komitmen ke anggota DPR. Namun, Anang tidak mengetahui proses pembagian uang tersebut.

Dalam dakwaan Setya Novanto, Andi Narogong disebut mengadakan pertemuan di Apartemen Pacific Place milik Paulus Tannos. Pertemuan yang dihadiri oleh Paulus Tannos, Anang Sugiana Sudihardjo, dan Johannes Marliem menyepakati pemberian fee sebesar 3,5 juta dolar AS untuk Novanto dan akan direalisasikan oleh Anang Sugiana Sudihardjo. 

Uang tersebut diambilkan dari bagian pembayaran PT Quadra Solution kepada Johannes Marliem melalui perusahaan Biomorf Mauritius dan PT Biomorf Lone Indonesia. Disebutkan di dakwaan, Johannes Marliem mengirimkan beberapa invoice kepada Anang Sugiana Sudihardjo sebagai dasar untuk pengiriman uang, sehingga seolah-olah pengiriman uang tersebut merupakan pembayaran PT Quadra Solution kepada Biomorf Mauritius atau PT Biomorf Lone Indonesia.

Soal fee komitmen untuk anggota DPR sebelumnya termaktub dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto. Dalam dakwaan, sederatan politikus Senayan lintas partai disebut turut kecipratan uang terkait proyek KTP-el. 

Di antaranya diduga Olly Dondokambey menerima 1,2 juta dollar AS, Ganjar Pranowo 520.000 dollar AS, Yasonna Laoly 84.000 dollar AS, Arif Wibowo 108.000 dollar AS, M Jafar Hafsah 100.000 doar AS, Melcias Marchus Mekeng 1,4 juta dollar AS, dan Tamsil Linrung 700.000 dollar AS. Hampir semua nama yang disebut telah berulang kali membantah. Tak terkecuali, kader PDI-P Ganjar Pranowo yang kini menjabat Gubernur Jawa Tengah.

Editor: Ridwan Maulana