HARNAS.ID – Sidang praperadilan eks Bupati Tanah Bumbu Mardani Maming terkait penetapan status tersangka atas perkara pemberian izin usaha oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan masuk tahap akhir yakni putusan pengadilan.
Hakim Tunggal Hendra Utama Sotardodo dalam sidang beragenda kesimpulan meminta kedua belah pihak, pemohon Mardani Maming dan termohon KPK membacakan kesimpulan. Namun, kedua belah pihak meminta kepada yang mulia hakim kesimpulan dianggap telah dibacakan.
“Selanjutnya acara besok sidang tinggal keputusan, kita lanjutkan Rabu 28 Juli 2022 sekitar pukul 13.00 WIB, dengan agenda pembacaan keputusan, baik pemohon dan termohon untuk hadir tepat waktu,” ujar Hakim Tunggal Hendra Utama dalam persidangan di PN Jaksel, Selasa (26/7/2022).
Dalam persidangan itu tidak seperti hari biasanya. Pada persidangan beragenda kesimpulan banyak petugas dengan atribut rompi bertuliskan KPK memenuhi ruangan pengadilan. Setidaknya lebih dari belasan petugas KPK datang melihat suasana pengadilan.
Pada sidang sebelumnya pihak pemohon yang diwakili penasehat hukum Mardani Maming, Denny Indrayana menyatakan, kasus yang menjeratnya kliennya bukan perkara korupsi seperti yang dituding oleh KPK, tapi bisnis to bisnis dengan perusahaan terkait perizinan pertambangan di kabupaten Tanah Bumbu.
Denny Indrayana juga menyesalkan diterbitkannya Daftar Pencarian Orang atau DPO oleh KPK. Meski demikian, DPO tidak mengugurkan praperadilan, sementara belum ada putusan pada sidang praperadilan tersebut.
“Pada Senin (25 Juli 2022), kami telah bersurat jika ternyata ada kondisi hukum proses ini berjalan. Kami siap datang segera, setelah putusan (praperadilan) itu dibacakan. Itukan konsekuensi hukum, KPK melakukan langkah itu (DPO), dan dianggap itu benar kami berharap juga hormati pada saat putusan nanti,” kata Denny Indrayana.
“Insya Allah kami menang ya berarti status tersangka, pemblokiran, pencekalan, dan lain-lain juga mesti dinyatakan tidak sah. Mari lah kita tunggu sama-sama, kurang 24 jam lagi koq, tidak akan lama lagi kan,” sambung dia.
Menilik Surat Edaran Mahkamah Agung atau SEMA No 1 Tahun 2018 mengatur secara tegas bahwa pemohon praperadilan yang statusnya tercatat DPO tidak bisa mengajukan praperadilan, apakah itu terkait perkara yang ditangani di instansi aparat hukum lainnya, baik di Kepolisian, Kejaksaan maupun KPK.
“Terkait dengan kasus yang menimpa saudara M Maning , dimana yang bersangkutan sudah mengajukam praperadilan pada 27 Juni 2022. Sedangkan status dia terkait dengan DPO baru ditetapkan sekarang ini,” ujarnya.
Dengan demikian jika mengacu makna dan pemahaman SEMA tersebut, artinya tidak diperbolehkan itu pemohon yang masuk dalam DPO.
“Sedangkan saudara Maming itu pada saat mengajukam upaya praperadilan belum terdaftar masuk DPO. Sehingga, surat SEMA diatas tidak bisa di terapkan pada saudara MM,” cetusnya.
Sebelumnya, ahli hukum pertambangan Ahmad Rezi dalam persidangan praperadilan Senin 25 Juli 2022, menyebutkan pengalihan IUP yang dilakukan pejabat tidak bisa dijatuhkan saksi pidana.
Dia menjelaskan tentang pengaturan perizinan sektor mineral dan batu bara di UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Batu Bara serta UU Nomor 3 Tahun 2020, bahwa pemberian IUP diatur oleh pejabat yang berwenang, antara lain Bupati, Walikota, Gubernur, Atau Menteri.
“Lalu bagaimana dengan terkait pemberian IUP dan peralihan. Pemberian IUP diatur di Pasal 36, 37, dan seterusnya, di situ diatur bahwa pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah bupati, wali kota, gubernur, atau menteri diberikan kewenangan untuk menerbitkan izin usaha pertambangan. Bupati dalam satu wilayah kabupaten/kota, gubernur untuk lintas kabupaten/kota, sedangkan menteri untuk lintas provinsi,” kata Ahmad Rezi.
Dia menegaskan bahwa pemberian IUP untuk usaha pertambangan, lalu diberikan izin kepada pemohon, dan pemohonnya bisa tiga, bisa bersifat perseroan, dan bisa juga korporasi atau perseorangan.
Karenanya seorang kepala daerah bisa memberikan izin surat pertambangan apabila ada lahan kosong yang belum ada pemiliknya. Namun dengan catatan harus syarat-syarat administratif yang harus dipenuhi.
“Jadi yang hari ini memang belum pernah ada, pemiliknya izin surat pertambangan kemudian oleh bupati atau wali kota atau gubernur nanti diberikan. Jadi sesuatu yang tadinya lahan kosong yang belum ada pemiliknya sama sekali kemudian diberikan kepada pemohon,” urainya.
Lanjut Ahmad, setelah pemohon IUP itu menerima semua kelengkapan data, maka itu syarat untuk dipenuhi agar mendapatkan IUP tersebut, diantaranya syarat administratif, teknis, dan syarat hukum maupun finansial.
“Jadi ada syaratnya mendapat IUP, ada syarat administratif, ada syarat-syarat teknis, syarat hukum dan finansial. Jadi memang sesuatu wilayah yang baru diterbitkan oleh bupati atau wali kota tentang IUP ini surat pertambangan,” ungkap Ahmad.
Nah, sedangkan peralihan IUP terjadi apabila perusahaan yang sebelumnya diberikan IUP oleh Bupati atau Walikota kemudian dialihkan kepada perusahaan lain di wilayah usaha pertambangan tertentu maka itu peralihan sesuai diatur pada pasal 93 UU 4 Tahun 2009.
“Jadi itu sesuatu yang sudah ada kemudian diberikan izinnya kepada perusahaan tertentu, kemudian dialihkan ke perusahaan B. Nah ini namanya peralihan dan ini diatur oleh Pasal 93 UU Nomor 4 Tahun 2009 terkait dengan pengganti itu tidak boleh dipindahtangankan. Ini dalam konteks peralihan,” ujarnya.
Ahmad melanjutkan, pemberian dan peralihan IUP merupakan dua hal yang berbeda. Pemberian IUP disebutnya dilakukan jika lahan yang dimintakan izin belum pernah diberikan kepada pihak mana pun. Sedangkan untuk peralihan IUP, lahan yang dimintakan izin sebelumnya sudah dikelola.
“Seperti yang sudah saya sampaikan tapi bahwa pemberian IUP dengan peralihan IUP itu berbeda. Jadi lahan itu atau pusat pertambangan itu belum pernah diberikan kepada pihak mana pun oleh pejabat, ini diberikan,” tuturnya.
Namun, kata dia setelah memenuhi persyaratan administratif, finansial, teknis, hukum, sedangkan peralihan IUP itu memang sesuatu yang sudah pernah ada dialihkan kepada PT B.
“Jadi secara hukum diatur di UU 4 Tahun 2009, pemberian dan peralihan adalah suatu peristiwa dan perbuatan hukum yang berbeda sama sekali,” ungkap dia.
Karena itu, kata Ahmad, jika merujuk pada UU Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 151, tidak ada sanksi atas pelanggaran Pasal 93 ayat 1. Dengan begitu, lanjutnya, bila ada peralihan IUP yang dilakukan oleh para pihak dalam konteks ini menggunakan IUP, tidak dikenai pertanggungjawaban administrasi.
“Kalau dipakai tahun 2011, berarti ikut yang UU Nomor 4 Tahun 2009. Lalu apakah diterima sanksi? Nah Pasal 93 ayat 1, tidak dikenai sanksi. Bicara mengenai sanksi di UU Nomor 4 Tahun 2009 ada Pasal 151, itu memiliki cara mengenai sanksi,” kata dia.
“Nah pasal itu tidak memberikan sanksi terhadap pelanggaran (Pasal) 93 ayat 1 UU 4 Tahun 2009 Minerba. Jadi kalau ada pelimpahan IUP yang dilakukan oleh para pihak dalam konteks ini menggunakan IUP, jadi tidak dikenai pertanggungjawaban administrasi,” sambung dia.
Dijelaskan Ahmad terkait sanksi pidana disebutkan bahwa tidak ada satu pasal yang mengatur peralihan IUP diberikan pertanggungjawaban administrasi negara atau sanksi pidana. Kata dia menjadi suatu pertanyaan apakah pertanggungjawaban bisa dikenakan sanksi pidana.
“Pada UU No 4 Tahun 2009 dari Pasal 158-165 yang mengatur tentang sanksi pidana, tidak ada satu pun pasal yang mengatur tentang pengenaan pidana terhadap Pasal 93 ayat 1. Jadi pasal itu, mengatur mengenai peralihan ini, tidak ada pertanggungjawaban administrasi negara dan tidak ada pertanggungjawaban sanksi pidana,” tandas dia.
Adapun sidang praperadilan yang diajukan Bendahara Umum PBNU Mardani Maming itu akan berakhir pada Rabu 27 Juli 2022 dengan agenda putusan oleh hakim tunggal Hendra Utama Sotardodo sekitar pukul 13.00 WIB.
Editor: Ridwan Maulana