Ilustarasi RUU Omnibus Law | MOJOK.CO

HARNAS.ID – Telegram Rahasia (TR) menyangkut antisipasi demonstrasi dan mogok kerja yang rencananya dilakukan kaum buruh serta mahasiswa pada 6-8 Oktober 2020, telah terbit. Unjuk rasa itu dilakukan terkait penolakan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker).

Telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 per 2 Oktober 2020 itu ditandatangani Asops Irjen Imam Sugianto atas nama Kapolri Jenderal Idham Azis. Bunyi dalam surat itu, unjuk rasa di tengah pandemi akan berdampak pada faktor kesehatan, perekonomian, moral dan hukum di tatanan masyarakat. Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Argo Yuwono membenarkan surat telegram rahasia tersebut.

Menurut dia, di tengah pandemi seperti ini, keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi atau Salus Populi Suprema Lex Esto. Surat telegram itu dikeluarkan demi menjaga kondusivitas situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) di saat COVID-19. Pemerintah, ujar Argo, sedang berupaya memutus mata rantai penyebaran virus corona baru itu.

“Telegram itu sebagaimana pernah disampaikan Pak Kapolri Jenderal Pol Idham Azis di tengah Pandemi COVID-19,” kata Argo dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (5/10/2020).

Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, aspirasi atau demonstrasi memang tidak dilarang. Namun, di tengah situasi pandemi seperti ini, kegiatan yang menimbulkan keramaian massa sangat rawan terjadinya penyebaran virus corona lantaran mengabaikan penerapan standar protokol kesehatan.

“Atas dasar itu Polri tidak memberikan izin aksi demontrasi atau kegiatan lainnya yang menyebabkan terjadinya kerumunan orang dengan tujuan mencegah penyebaran COVID-19. Ini juga sejalan dengan Maklumat Kapolri. Kami minta masyarakat mematuhinya,” tuturnya.

Surat telegram tersebut juga meminta kepada seluruh jajaran Polri melakukan patroli siber di media sosial (medsos) terkait potensi merebaknya penyebaran informasi palsu (hoaks), salah satunya menyangkut isu Ombibus Law. Kapolri dalam TR pun meminta jajarannya melaksanakan kegiatan fungsi intelijen dan pendeteksian dini guna mencegah terjadinya aksi unjuk rasa dan mogok kerja.

Hal ini, bukan mustahil terjadi konflik sosial serta aksi anarkistis di wilayah masing-masing. Di sisi lain, polisi juga melakukan pemetaan di perusahaan atau sentra produksi strategis dan memberikan jaminan keamanan dari adanya pihak-pihak yang mencoba melakukan provokasi atau memaksa buruh ikut mogok kerja serta unjuk rasa.

“Kami berupaya meredam dan mengalihkan aksi unjuk rasa kelompok buruh demi kepentingan pencegahan penyebaran virus corona, termasuk berkordinasi dengan seluruh elemen masyarakat terkait hal ini,” ujarnya.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi menyatakan, pembahasan RUU Cipta Kerja bersama pemerintah sudah sesuai mekanisme dan tata kelola yang berlaku. Apakah akan dibawa ke Rapat Paripurna terdekat, tergantung keputusan Bamus (Badan Musyawarah).

“Baleg juga sudah melaporkan hasil pembahasan Omnibus Law yang telah disetujui untuk menjadi UU dalam rapat pengambilan keputusan tingkat II kepada pimpinan DPR,” tutur Baidowi.

Terkait adanya dua fraksi yang masih menolak RUU tersebut yaitu Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, itu merupakan bentuk keberagaman politik. Namun, Baidowi memastikan keduanya ikut terlibat dalam pembahasan RUU sejak rapat panitia kerja (panja) dan sempat ikut menyetujui draf regulasi tersebut.

Rapat Kerja Baleg DPR dengan pemerintah, Sabtu (3/10/2020) telah menyepakati RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna. RUU Cipta Kerja yang juga sering disebut Omnibus Law diajukan pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan investasi yang selama ini masih menghambat kinerja perekonomian nasional.

Regulasi ini pertama kali disampaikan Presiden Joko Widodo kepada Ketua DPR RI melalui Surat Presiden Nomor: R-06/Pres/02/2020 tanggal 7 Februari 2020. Dalam surat tersebut, presiden menugaskan 10 menteri terkait untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU ini bersama parlemen, pengusaha maupun serikat pekerja.

Rapat pembahasan juga tercatat meliputi 63 rapat pembahasan yang mencakup 56 kali Rapat Panja, 6 kali Rapat Tim Perumus/Tim Sinkronisasi dan 1 kali Rapat Kerja. RUU ini sempat mendapatkan pertentangan dari masyarakat maupun buruh karena dianggap hanya menguntungkan para pengusaha, dapat menggusur masyarakat adat dan berpotensi mengganggu lingkungan serta kelestarian alam.

Editor: Ridwan Maulana

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini