Skandal Korupsi Pertamina, Kejagung Resmi Menetapkan Tujuh Tersangka

Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan tujuh tersangka dalam kasus korupsi Pertamina. Foto: Ist

Harnas.id, Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan tujuh tersangka dalam kasus korupsi tata kelola minyak dan produk pada PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023.

“Tim penyidik pada malam hari ini menetapkan 7 orang sebagai tersangka,” ujar Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers pada Senin (24/2).

Dari tujuh tersangka tersebut, empat berasal dari internal Pertamina dan tiga lainnya dari pihak swasta. Salah satu yang menjadi sorotan adalah Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.

Berikut adalah tujuh tersangka yang terlibat dalam skandal korupsi tata kelola minyak di Dari Pihak Pertamina:

• Riva Siahaan – Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga

• SDS – Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional

• YF – Direktur Utama PT Pertamina International Shipping

• AP – VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina Internasional

Dari Pihak Swasta:

• MKAN – Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa

• DW – Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim

• YRJ – Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Mera

Abdul Qohar menjelaskan bahwa skandal ini bermula ketika pemerintah, dalam periode 2018-2023, mewajibkan Pertamina untuk mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri sebelum melakukan impor. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2018.

Namun, para tersangka justru melakukan pengondisian dalam rapat organisasi hilir (ROH) untuk menurunkan produksi kilang, sehingga minyak mentah dalam negeri tidak terserap sepenuhnya. Akibatnya, Pertamina lebih memilih impor minyak dengan harga yang jauh lebih tinggi.

“Minyak mentah dalam negeri sengaja ditolak dengan alasan tidak memenuhi nilai ekonomis dan spesifikasi, padahal masih sesuai dengan harga perkiraan sendiri (HPS),” kata Qohar.

Setelah menolak minyak dalam negeri, minyak tersebut kemudian diekspor, sementara dua anak perusahaan Pertamina melakukan impor minyak mentah dan produk kilang dengan harga lebih mahal.

Selain itu, terjadi konspirasi harga dalam kegiatan ekspor minyak, di mana para tersangka telah mengatur pemenangan broker tertentu dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi.

Sebagai salah satu tersangka utama, Riva Siahaan diduga terlibat dalam manipulasi pembelian produk kilang. Ia diketahui membeli produk RON 92, tetapi yang sebenarnya diperoleh adalah RON 90 yang harus diolah kembali.

Sementara itu, tersangka YF diduga melakukan mark up dalam kontrak pengiriman minyak impor, yang menyebabkan negara harus membayar biaya tambahan sebesar 13-15 persen.

Akibat perbuatan para tersangka, terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dijual ke masyarakat, sehingga pemerintah harus mengeluarkan subsidi lebih besar melalui APBN.

Menurut Kejagung, skandal ini telah menyebabkan kerugian keuangan negara mencapai Rp 193,7 triliun.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 Jo Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Kasus ini menjadi salah satu skandal korupsi terbesar di sektor energi, yang tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga berdampak langsung pada kenaikan harga BBM dan beban subsidi APBN.