Keamanan Online di Asia Tenggara Diungkap

Ilustrasi pertemuan virtual selama pandemi COVID-19 | Ist

HARNAS.ID – Survei baru oleh perusahaan keamanan siber global Kaspersky telah mengungkap perubahan perilaku dan pandangan para pengguna secara online atau dalam jaringan (daring) selama masa pandemi virus corona baru (COVID-19). Hal ini seiring semakin banyaknya bagian kehidupan manusia yang bergantung secara online karena kembalinya penerapan isolasi diri kembali di seluruh negara di Asia Tenggara.

“Teknologi adalah alat yang sangat berguna, terutama jika diamankan secara efektif. Berdasarkan studi ini, pengguna online Asia Tenggara menghabiskan lima hingga 10 jam per hari untuk online dan mengakui bahwa penerapan lockdown telah menyebabkan waktu yang dihabiskan secara virtual meningkat hingga dua sampai lima jam per hari,” kata General Manager Kaspersky Asia Tenggara Yeo Siang Tiong dalam keterangan tertulis, Senin (17/8/2020).

Laporan Kaspersky berjudul “More connected than ever before: how we build our digital comfort zones” menemukan, mayoritas (82 persen ) responden dari wilayah tersebut menganggap bahwa gaya hidup digital mereka aman dalam hal terkait privasi data. Ini 7 persen lebih tinggi dari rata-rata global sebesar 75 persen.

Dilakukan pada Mei 2020 lalu di antara 760 responden dari wilayah tersebut, temuan menarik lainnya menunjukkan hanya 1 persen pengguna di Asia Tenggara yang mengakui hidup secara virtual terasa sangat tidak aman bagi mereka, 2 tingkat lebih rendah dari tingkat global yaitu sebesar 3 persen. Sisanya menjawab merasa tidak aman (11 persen), masih lebih rendah dari persentase global sebesar 16 persen. Sedangkan 5 persen  tidak yakin.

Terlepas dari keyakinan yang tinggi di wilayah tersebut, responden survei juga mengaku diretas secara online. Pengguna mengakui bahwa akun media sosial (21 persen), akun email  (20 persen), perangkat seluler (13 persen), jaringan Wi-Fi (12 persen), dan akun perbankan mereka (12 persen) telah mengalami peretasan.

Terdapat pula 2 persen lainnya yang bahkan mengonfirmasi bahwa akunnya telah disusupi lebih dari tiga atau empat kali. Sementara 24 persen yakin bahwa datanya tidak pernah bocor. Hampir 2 dari 10 responden juga mengaku tidak yakin apakah akun mereka pernah dibobol karena mereka tidak tahu cara memeriksanya (18 persen). Sementara 14 persen lainnya mengungkapkan bahwa mereka tidak pernah memeriksa sama sekali.

Ketika ditanya mengenai apa yang dilakukan setelah akun mereka mengalami kebocoran, lebih dari setengah pengguna (57 persen) di Asia Tenggara mengubah kata sandi pada semua perangkat nirkabel dan akun digital. Sebanyak 54 persen lainnya memperbarui kode keamanan mereka hanya ke perangkat nirkabel dan akun digital yang terpengaruh.

Terungkap, hanya sebanyak 23 persen dari responden yang mengalami peretasan memasang perangkat lunak keamanan untuk melindungi akun mereka. Sedangkan 14 persen membawa perangkat yang diretas ke pakar teknologi informasi. Ada sebagian kecil (4 persen) yang memilih untuk tidak melakukan apa-apa.

“Dengan perangkat kita yang juga terhubung untuk keperluan kantor, bank, pusat perbelanjaan, sekolah, dan banyak lagi, kita harus lebih menjaga akun dan perangkat terkunci dengan baik demi menjaga aset digital dan kehidupan jauh dari jangkauan pelaku kejahatan,” kata Yeo menegaskan.

Editor: Aria Triyudha

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini