Budaya Diam di Institusi Hukum: Antara Loyalitas dan Kebenaran

Kompol M. Fadli Amri, mahasiswa pascasarjana STIK–PTIK dan Founder @TanyaPolisi. Foto: Istimewa
Kompol M. Fadli Amri, mahasiswa pascasarjana STIK–PTIK dan Founder @TanyaPolisi. Foto: Istimewa

Harnas.id, BOGOR – Fenomena code of silence atau budaya diam dalam institusi penegak hukum kembali menjadi sorotan. Berbagai kasus yang mencuat ke publik mengungkap pola serupa: penanganan yang lambat, kurangnya transparansi, dan komunikasi yang minim empati. Fenomena ini mencerminkan dilema antara loyalitas terhadap sesama anggota dan kewajiban menegakkan kebenaran.

Budaya diam merupakan norma tidak tertulis di mana anggota institusi enggan melaporkan pelanggaran yang dilakukan rekan mereka. Menurut Carl B. Klockars, fenomena ini adalah bentuk solidaritas yang justru dapat melanggengkan impunitas. Sosiolog Maurice Punch bahkan menyebutnya sebagai “penyimpangan yang dilegalkan oleh struktur organisasi.”

Di Indonesia, gejala ini terlihat dalam berbagai kasus yang melibatkan aparat penegak hukum. Dari dugaan rekayasa informasi hingga keterlambatan penyelidikan, semua menunjukkan bahwa code of silence bukan sekadar mitos, melainkan fenomena sistemik dengan dampak luas.

Dampak Buruk Code of Silence

Budaya diam bukan hanya persoalan internal institusi, tetapi juga berdampak pada kepercayaan publik. Studi Edelman Trust Barometer 2023 menunjukkan bahwa lembaga penegak hukum di berbagai negara mengalami penurunan kepercayaan akibat kurangnya transparansi dalam menangani kasus internal.

Klockars (2004) menegaskan bahwa semakin kuat budaya diam dalam sebuah institusi, semakin rendah tingkat integritasnya. Ketika integritas melemah, masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap aparat penegak hukum.

Loyalitas atau Kebenaran?

Esprit de Corps merupakan nilai yang membentuk solidaritas dalam institusi seperti Polri dan TNI. Namun, jika nilai ini lebih diutamakan dibandingkan kesetiaan terhadap hukum dan kebenaran, maka loyalitas bisa menjadi distorsi nilai.

“Dilema klasik yang sering muncul adalah memilih membela rekan atau membela integritas institusi. Padahal, membela kebenaran justru merupakan bentuk loyalitas tertinggi terhadap institusi itu sendiri,” ujar Kompol M. Fadli Amri, mahasiswa pascasarjana STIK–PTIK dan Founder @TanyaPolisi.

Komunikasi yang Buruk, Krisis Kepercayaan

Dalam banyak kasus, kegagalan komunikasi publik justru memperparah krisis. Ketika sebuah peristiwa serius hanya dijawab dengan keheningan atau candaan yang tidak pantas, masyarakat akan menilai bahwa negara abai terhadap keadilan.

Dalam ilmu komunikasi krisis, respons pertama yang harus dikedepankan adalah empati—menunjukkan keprihatinan, menjelaskan langkah konkret, dan memberikan harapan kepada publik. Tanpa itu, persepsi publik akan terbentuk liar dan kepercayaan terhadap institusi semakin melemah.

Langkah Menghapus Budaya Diam

Budaya diam tidak bisa diberantas hanya dengan instruksi atau imbauan. Diperlukan perubahan menyeluruh dalam budaya organisasi dengan langkah-langkah berikut:

  1. Sistem Pelaporan Internal yang Kuat
    Dibutuhkan mekanisme pelaporan yang aman dengan perlindungan maksimal bagi pelapor serta sistem independen dalam menindaklanjuti laporan.
  2. Pendidikan Etika dan Integritas
    Etika harus menjadi bagian dari pelatihan di setiap jenjang, bukan sekadar teori, tetapi juga praktik dalam kehidupan sehari-hari.
  3. Kepemimpinan Berbasis Keteladanan Moral
    Pemimpin harus menunjukkan keberanian moral, bukan hanya ketegasan struktural.
  4. Kolaborasi dengan Masyarakat dan Media
    Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi budaya dalam institusi, dengan keterlibatan masyarakat sipil dan media sebagai kontrol sosial.
  5. Evaluasi Budaya Organisasi
    Selain menilai kinerja operasional, evaluasi terhadap budaya organisasi perlu dilakukan secara berkala untuk memastikan transparansi berjalan dengan baik.

Saatnya Berani Bicara

Budaya diam hanya akan semakin mengakar jika terus dibiarkan. Sebaliknya, membongkar budaya ini merupakan langkah awal dalam menegakkan integritas institusi penegak hukum.

Keberanian untuk mengakui kesalahan dan komitmen untuk memperbaikinya adalah bentuk loyalitas sejati terhadap institusi. Pada akhirnya, kualitas demokrasi tidak hanya ditentukan oleh kekuatan hukum, tetapi juga oleh kejujuran individu di dalamnya.

“Jika kita sungguh mencintai institusi ini, maka kita harus berani menyuarakan kebenaran. Tidak ada kehormatan dalam menutupi pelanggaran, tetapi kehormatan sejati ada dalam keberanian untuk memperbaiki kesalahan.” – Kompol M. Fadli Amri.

Laporan: ABAS

Editor: IJS