HARNAS.ID – Dalam pencarian jati dirinya, pelukis Bambang menciptakan proksimitas dan metafora dalam karya-karya lukisannya dalam berbagai tema, dari karat hingga kilap metal yang dramatically beautiful. Tapi ia senantiasa gelisah dan memelihara perubahan.
Dalam perjalanannya, Bambang Pramudiyanto pernah mengentak dunia seni lukis kontemporer ketika menggelar pameran tunggal bertajuk “Mobil-mobil” di Bentara Budaya, Yogyakarta, tahun 1995 dan Iconic realism di Kinara Gallery, Nusa Dua, Bali, 1999 serta “Ketika Perobahan Harus Ada” di Bentara Budaya, Jakarta.
Proksimitas. Ketika membicarakan tajuk yang ditawarkan Bambang tentang “Mobil-mobil”, misalnya, banyak orang berkepentingan dan tersentuh. Kedekatan jarak itu menjadi penting. Apalagi ketika Bambang sukses menggiring karyanya pada spot tertentu, mobil-mobil yang berkarat dan ditinggalkan pemiliknya.
Salah satunya, sebuah lukisan berjudul For Those Forgetten, misalnya. Atau judul lainnya seperti Now and Then. Dan Bambang mewujudkan mobil-mobil berkarat itu dengan dramatically beautiful di atas kanvas. Sebenarnya, saat itu juga tertangkap kepiawaiannya ‘bermain’ dengan benda-benda metal, yang di sisi lain juga kokoh dan mengkilap. Bahkan mentereng.
Pelukis kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 1965, yang tidak sempat menamatkan kuliahnya di ISI Yogyakarta ini pernah menyabet penghargaan sebagai Lima Besar Karya Terbaik dalam The Phillip Morris Group of Companies Indonesia Art Award, 1995.
Kegelisahan. Itu isu hidup pelukis ini. Yang pada gilirannya mendorong pemaknaan fase berikut dari proses berkesenian: perubahan itu sendiri. Pada pertengahan tahun 1960-an, di Amerika Serikat, sekelompok pematung dan pelukis mengembangkan corak baru yang dikenal sebagai Hiper-realis.
Pijakan awal karya-karya mereka adalah citra realitas seperti hasil kerja fotografi yang dikerjakan dengan tingkat perincian tinggi. Malah di Eropa, pada awal dekade 1970-an, muncul teknik gambar more real than real, hiper-realis sampai kenyataan, hinggi ke perinci-perincinya. Dan bambang ikut dalam arus itu.
Pendekatan yang dilakukan Bambang adalah hiper-realis ala pelukis Richard Estes, Eropa, yang gemar melukiskan refleksi cahaya yang menimpa kaca etalase yang berbias pada benda-benda di hadapannya. Maka bermunculanlah benda-benda industri dan produk-produk konsumerisme yang menjadi ikon-ikon kebudayaan pop.
Dan Bambang piawai mengemas kilap-kemilap itu. Meski ia juga tetap memelihara sebungkah ‘sinisme’nya terhadap persoalan sosial, perobahan iklim politik, kesetaraan gender hingga gejala konsumerisme. Jadi, ‘perubahan’ menjadi kata kunci ketika kita mengamati karya-karya Bambang.
Tampak nyata dari karya-karyanya mulai tahun 2001. Tengok saja Crisis? What Crisis?, The Rose, Where You Are, Transition, The Power of Life, Fragrant of Femine hingga Underpresser. Bahkan ia menyentil campur-aduk kehidupan sosialis-kapitalis di China dalam Exoticapitalism.
Di Yogyakarta, seniman muda ini mengungkapkan gagasan dan perjalanan berkeseniannya. Ia menyentil soal serbuan pelukis dan karya lukis dari China di bursa seni lukis domestik. “Pangsa pasar mereka anak-anak muda. Karyanya dijual dengan harga terjangkau. Sebenarnya bukan karya itu tidak bagus, tapi memang sasaran mereka di situ,” ujarnya.
Oleh: NA Kusuma untuk HARNAS.ID