HARNAS.ID – Jaksa Pinangki Sirna Malasari menyatakan tidak terima atas dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) yang dibacakan dalam sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (23/9/2020). Terdakwa kasus suap (gratifikasi) itu akan mengajukan nota keberatan (eksepsi) terhadap surat dakwaan tersebut.
“Mohon waktu satu pekan untuk mengajukan nota keberatan,” tutur Aldres Napitupulu, kuasa hukum Pinangki setelah berdiskusi dengan kliennya.
Atas pengajuan itu, sidang pun ditunda dan akan dilanjutkan, Rabu (30/9/2020), dengan agenda eksepsi. Dalam siding, JPU Kejaksaan Agung menjerat Pinangki dengan 3 dakwaan yakni penerimaan suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat.
Pertama, Pinangki didakwa menerima suap US$ 500 ribu dari commitment fee senilai US$ 1 juta. Suap tersebut berasal dari terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra. Suap itu diberikan agar Pinangki mengurus fatwa ke Mahkamah Agung (MA) yang akan diajukan Kejaksaan Agung agar Djoko Tjandra tak perlu menjalani 2 tahun penjara di kasus cessie Bank Bali.
Itu berdasarkan putusan PK Nomor 12 tanggal 1 Juni 2009, bahwa Djoko Tjandra tidak bisa dieksekusi sehingga bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana. Dari uang US$ 500 ribu tersebut, sebanyak US$ 50 ribu diberikan kepada advokat Anita Kolopaking sehingga Pinangki menikmati uang US$ 450 ribu dari Djoko Djandra.
Dakwaan kedua, Pinangki dijerat dengan Pasal Pencucian Uang. Jaksa menyatakan Pinangki mencuci uang yang berasal dari penerimaan suap sebesar US$ 444.900 atau sekitar Rp 6.219.380.900 sebagai uang pemberian Djoko Tjandra untuk pengurusan fatwa ke MA. Uang disamarkan dengan membeli mobil BMW X5, sewa apartemen dan membayar dokter kecantikan di Amerika Serika.
Selain itu untuk membayar dokter home care, membayar kartu kredit serta membayar sewa dua apartemen mewah di Jakarta. Dakwaan ketiga, pemufakatan jahat disebutkan, Pinangki bersama Andi Irfan Jaya dan Djoko Tjandra diduga menyuap pejabat di Kejagung dan MA senilai US$ 10 juta. Rencana pemberian suap tersebut agar Djoko Tjandra bisa mendapatkan fatwa dari MA.
“Menurut kami cukup aneh ketika terdakwa dituduh sebagai penerima, tapi dituduh juga sebagai pemberi. Itu yang akan menjadi salah satu poin keberatan kami,” kata Aldres. Namun, terkait penerimaan suap dan pencucian uang, Aldres mengatakan akan membuktikannya. “Itu kan pokok perkara. Nanti kami buktikan, itu bukan dari hasil perbuatan yang melawan hukum.”
JPU Kejaksaan Agung KMS Roni sebelumnya menyatakan bahwa suap yang diberikan kepada terdakwa Pinangki agar pidana penjara yang dijatuhkan kepada Djoko Tjandra berdasarkan putusan Peninjauan Kembali No 12 tertanggal 11 Juni 2009 tidak berlaku (dieksekusi). Dengan begitu Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.
Pinangki saat itu adalah Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung. Awalnya, Pinangki bertemu dengan Rahmat dan Anita Dewi Kolopaking pada September 2019 di Hotel Grand Mahakam Jakarta. Pinangki minta Rahmat dapat dikenalkan dengan Djoko Tjandra yang berstatus DPO. Rahmat lalu menyanggupinya.
“Rahmat menghubungi Djoko Tjandra dengan menyampaikan bahwa terdakwa ingin berkenalan dengannya dan disanggupi setelah melihat data dan foto Pinangki sedang berseragam kejaksaan,” ujar Jaksa Roni.
Pinangki, sekitar Oktober 2019 menyampaikan ke Anita Kolopaking bahwa akan ada surat permintaan fatwa ke MA soal PK Djoko Tjandra. Karena Anita merasa punya banyak kenalan di MA dan biasa berdiskusi hukum dengan para hakim di lembaga peradilan itu, maka berencana menanyakan hal tersebut ke temannya. Dia adalah seorang hakim di MA.
Pinangki dan Rahmat lalu bertemu dengan Djoko Tjandra pada 12 November 2019 di The Exchange 106 Kuala Lumpur, Malaysia. Saat itu Djoko Tjandra memberikan kartu nama dengan nama “JO Chan”. Selanjutnya, Pinangki Sirna Malasari memperkenalkan diri sebagai jaksa sekaligus orang yang mampu mengurus PK Djoko Tjandra.
Editor: Ridwan Maulana