Belajar Wayang di Museum

Pantomin di depan Museum Wayang, kawasan Kota Tua Jakarta | Cindy

HARNAS.ID – Museum Wayang di Jakarta tidak hanya menyimpan berbagai khazanah dunia perwayangan, tetapi juga perkembangan wayang yang dirambah teknologi 3D hingga pagelaran dan kursus wayang. Apa yang dimaksud wayang ‘Kampung Sebelah’? Berikut ceritaku:

Kawasan Kota Tua Jakarta menyimpan khazanah lansekap, tata kota, sejarah dan kebudayaan dalam satu paket. Episentrumnya adalah lapangan di depan Museum Sejarah Jakarta atau Stadhuis, alias Balai Kota Batavia pada zaman kolonial Belanda. Museum tersebut berada di sisi selatan lapangan, menghadap ke utara.

Tetapi di sisi barat lapangan sebenarnya terdapat museum lainnya, yakni Museum Wayang. Gedung museum wayang pada awalnya adalah bangunan gereja. Sejalan waktu ada beberapa perubahan pada gedung ini. Awalnya adalah Gereja Lama (1640-1732), yang dibangun pada tahun 1640 dengan nama “de Oude Holandsche Kerk”.

Pada tahun 1732, gereja ini diperbaiki dan diganti namanya menjadi “de Nieuw Holandsche Kerk”. Inilah periode Gereja Baru hingga tahun 1808. Gereja ini pernah terkena gempa bumi dahsyat yang menghancurkannya. Setelah itu barulah dibangun kembali dengan tatanan dan kontruksi bangunan yang sama percis dengan sekarang.

Itu terjadi pada 1912. Sebelum menjadi Museum Wayang, bangunan ini diberi nama Museum Batavia Lama pada 1939. Kemudian pada 1957 diserahkan kepada Lembaga Kebudayaan Indonesia. Gubernur DKI Jakarta H Ali Sadikin meresmikan museum ini pada tanggal 13 Agustus 1975.

Pada tahun 2003, bangunannya diperluas, dengan hibah dari pengusaha Probosutejo. Kondisi museum ini sekarang bagus dan terawat. Banyak terdapat koleksi wayang dari daerah-daerah di Nusantara dan dari luar negeri. Jumlah koleksinya mendekati 6.000 item.

“Yang dipamerkan di sini bukan hanya wayang golek dan kulit, tetapi juga topeng, boneka, gamelan dan lukisan wayang,” jelas Irfan (28), pegawai Muesum Wayang.

Untuk memasuki Museum Wayang dikenakan biaya harga tiket Rp 2.000 untuk pelajar, Rp 3.000 untuk mahasiswa, dan Rp 5.000 untuk umum. Harga tiket tersebut sebenarnya untuk pengelolaan kebersihan museum sendiri. Tentu, harga tiket itu terbilang murah. Tetapi museum ini memang punya beban memperkenalkan wayang bukan saja untuk wisatawan mancanegara tetapi juga kepada bangsa Indonesia sendiri. Maklum, tidak semua orang Indonesia paham dengan wayang.

Di dalam museum terdapat koleksi Wayang Kulit Purwa Ngabean, Wayang Kulit Banjar, Wayang Kulit Sadat, Wayang Wahyu, Wayang Kyai Intan, Gamelan Kyai Intan, Wayang Gokek Elung Bandung, Wayang Golek Menak Kebumen, Wayang Sasak NTB, Wayang Kulit Tejokusuman, Blencong, Wayang Revolusi, hingga Wayang Golek Betawi.

“Wayang Golek Betawi bahannya hampir sama, dari kayu. Hanya ceritanya berbeda, lebih bercerita soal sejarah Betawi, bukan soal Ramayana atau Mahabarata,” jelas Irfan lagi.

Dengan perkembangan zaman yang modern dan sudah berubah, ternyata wayang ini masih di kagumi oleh anak-anak. Museum ini kerap menggelar workshop dan pagelaran dengan cara mengangkat kesenian wayang. Termasuk untuk anak-anak. Hal itu antara lain cara yang ditempuh untuk memperkenalkan kesenian wayang.

Dengan demikian, anak-anak mengetahui bahwa wayang sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia. Irfan pun menambahkan, “Biasanya kita mengadakan penyuluhan dari museum ke sekolah- sekolah, untuk mengenal budaya wayang. Kita juga ngasih kaos, topi, dan buku catatan supaya mereka ingat pada wayang.”

Lazimnya, pagelaran untuk wayang dilangsungkan setiap hari Minggu, antara pk. 10.00-14.00. Berbagai macam wayang akan ditampilkan dalam pagelaran ini dan ceritanyapun tidak seberat yang dipikirkan orang. Karena pihak museum sudah menyesuaikan temanya sesuai perkembangan zaman.

“Wayang juga sudah melakukan revolusi. Kini banyak wayang modern ‘Kampung Sebelah’. Kemasan tema ‘Kampung Sebelah’ itu ceritanya lucu. Tokoh- tokohnya yang ada pada era sekarang,” imbuh Irfan lagi.

Adapun musik yang ditampilkan juga sudah modern. Para pengiring musik ada yang menggunakan gitar, bass, dan drum. Tujuannya, agar lebih enak dan tidak asing bagi anak muda menonton. Penggunaan bahasanya juga berbeda. Dengan adanya wayang ‘Kampung Sebelah’, pengunjung yang menonton pagelaran tersebut melibatkan nyaris seluruh kalangan.

“Masalahnya memang, wayang yang menggunakan bahasa daerah bisa dikatakan monoton, karena tidak dimengerti,” kata Fajar, salah seorang pengunjung saat ditemui di museum.

Sekarang, publikasi wayang sudah meluas. Media publikasi di Museum Wayang sudah ada yang menggunakan metoda 3D. Namun biasanya hal itu untuk kunjungan dari rombongan pelajar dan mahasiswa. Namun ada juga 3D yang tidak menggunakan kacamata, dengan menggunakan layar televisi. Wayang 3D ini lebih memperkenalkan tokoh.

“Memang ada perubahan di mana gaya wayang sekarang menyisipkan unsur humor,” kata Irfan.

Selain itu, di Museum Wayang juga menyediakan workshop Wayang Janur. Wayang ini berukuran 25 cm, ini berasal dari Jogjakarta. Wayang ini bisa dibuat sendiri. Tentu ada yang memandunya yang akan mengajarkan cara membuat wayang ini. Wayang Janur terbuat dari helai janur dan rangka lidi.

“Kalau lagi ada pameran di museum, pasti akan diajarkan cara membuat wayang janur,” jelas Irfan.

Untuk diajarkan cara membuat Wayang Janur, pengunjung cukup membayar Rp 15.000. Tujuan museum mengajarkan cara membuat Wayang Janur ini adalah agar masyarakat tahu bagaimana cara membuat wayang itu sangat susah. Sehingga mereka bisa menghargai lebih tentang wayang.

Mengunjungi Museum Wayang, pengunjung akan menjalani alur dari pintu masuk, memutar, melingkar, naik ke lantai atas, hingga turun lagi ke lantai bawah. Di dekat pintu keluar terdapat toko cindera mata yang menjual berbagai pernik dunia wayang. Saat kami berkunjung, beberapa wisatawan asing tampak berkunjung kesini. Museum ini tutup pk. 15.00, jadi bila Anda berkunjung ke kawasan Kota Tua, sebaiknya masuk dulu ke museum sebelum menikmati senja di Kota Tua.

Oleh: Cindy untuk HARNAS.ID

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini