Pro Kontra Anggota DPR RI Soal Wacana Pemindahan Depo Pertamina Plumpang

Foto: Istimewa

JAKARTA, Harnas.id – Wacana pemindahan Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara rupanya menuai pro dan kontra di jajaran DPR RI. Ada yang setuju, ada pula yang tidak. Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade misalnya.

Ia menyebut usulan untuk memindahkan Depo Plumpang ke Newport Priok Pelindo, menurut Andre adalah pilihan yang tepat. Sebab, di tanah milik Pelindo tersebut, Pertamina tidak perlu berinvestasi tanah, melainkan hanya tinggal bersinergi dengan Pelindo.

“Cukup melakukan Sinergi BUMN, cukup melakukan penyewaan, di tanah milik Pelindo. Sehingga, Pertamina bisa membangun asetnya membangun depo baru di tanah milik Pelindo tersebut. Pertamina tidak perlu melakukan investasi tanah dan juga dengan pemindahan, itu otomatis wilayahnya jauh lebih aman dan akan ada buat program yang tidak mungkin dimasuki masyarakat karena dalam lingkup kawasan,” paparnya melalui virtual meeting di Media Center, Gedung Nusantara III DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (9/3/2023).

Lebih lanjut, Andre juga memaparkan, bahwa Komisi VI sudah memberi peringatan kepada Pertamina sejak dua tahun terakhir. Peringatan itu terkait pemeliharaan yang seharusnya lebih intensif pada depo dan kilang-kilang Pertamina mengingat usianya yang sudah tua.

“Meskipun kita tahu Depo Pertamina Plumpang pernah mendapatkan penghargaan Most Efficient Storage, tapi kita juga harus memaklumi Depo Pertamina Plumpang ini sudah berusia tua ya, dibangun dan dioperasikan di tahun 1974 dan usianya juga sudah begitu tua. Tentu dengan usia yang cukup tua itu ada resiko-resiko yang terjadi,” tutur Andre.

Lebih lanjut, Andre menambahkan salah satu permasalahan yang dialami Depo Pertamina Plumpang adalah berkaitan dengan buffer zone yang tidak dapat dijaga dengan baik. Depo Pertamina Plumpang saat ini berlokasi sangat dekat dengan pemukiman penduduk yang padat.

Meskipun jika ditelusuri secara sejarah, sebenarnya dari perencanaan tata kota di tahun 1971-1974, posisi Depo Pertamina Plumpang sudah berada di lokasi yang tepat. Selain itu, Pertamina juga memiliki sertifikat tanah di daerah buffer zone.

Dalam hal ini, Andre menyayangkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang belum mampu membantu Pertamina untuk menjaga buffer zone tersebut.

“Nah permasalahannya memang Pertamina tidak bisa menjaga asetnya. Sehingga buffer zone yang seharusnya kosong, dan tanah Pertamina ini tapi (kenapa) bisa dihuni warga. Bukan hanya salah Pertamina, tapi juga salah pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah yang menurut saya tidak mampu membantu Pertamina menjaga aset nya,” tegasnya.

Berbeda dengan Andre, anggota Komisi VII DPR RI Syaikhul Islam secara tegas mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap rencana pemindahan Depo Pertamina Plumpang. Pasalnya hal tersebut sangat tidak realistis dan membutuhkan waktu serta biaya yang tidak sedikit.

“Relokasi Depo Pertamina Plumpang sangat tidak realistis, membutuhkan waktu dan biaya yang besar bahkan terkesan lebih kental nuansa politiknya,” ujar Syaikul dalam keterangan persnya, Kamis (9/3/2023).

Hal tersebut diungkapkan Politisi Fraksi PKB ini menyusul rencana Pemerintah melalui Kementerian BUMN dan PT Pertamina Persero yang akan melakukan relokasi terhadap Depo Pertamina Plumpang, pasca kebakaran.

Pihaknya berharap pemerintah mengambil langkah yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, salah satunya dengan terus meningkatkan pengelolaan manajemen resiko di dalam Pertamina.

Ia menilai pemindahan depo tidak menjamin tidak terulangnya insiden serupa, apabila Pertamina tidak meningkatkan SOP (standard operational procedure) dalam manajemen resiko di setiap proses maupun tahapan kerja.

“Saat ini, membuat zona penyangga (buffer zone) di lokasi Depo Pertamina Plumpang merupakan opsi yang paling kongkret yang bisa dilakukan dan juga membebaskan lahan masyarakat sampai jarak aman,” pungkasnya.

Senada dengan Syaikhul, Pakar energi, Yusri Usman pun menilai pemindahan Depo Pertamina Plumpang itu disefisiensi. Menurut analisanya, rencana tersebut akan memakan biaya sampai USD300 juta atau setara dengan Rp4,5 triliun. (PB/*)