Ilustrasi perkebunan kelapa sawit | sawitwatch.or.id

HARNAS.ID – Pemerintah diminta memperbaiki tata kelola buruh perkebunan kelapa sawit. Perbaikan ini seharusnya bisa diimplementasikan seiring moratorium dan evaluasi perkebunan kelapa sawit.

“Meski sudah masuk tahun ketiga, Instruksi Presiden (Inpres) tentang moratorium tidak menyentuh kondisi buruh perkebunan sawit di Indonesia. Kami melihat sampai sejauh ini, jumlah buruh yang bekerja di perkebunan sawit tanpa kepastian kerja, tanpa kepastian upah dan tanpa kepastian jaminan kesehatan masih massif. Kondisi ini lah yang seharusnya diubah oleh pemerintah dengan perbaikan tata kelola, tapi itu tidak terjadi,” kata Koordinator Koalisi Buruh Sawit Zidane, Rabu (23/9/2020).

Moratorium dan evaluasi perkebunan kelapa sawit tertuang dalam Inpres No 8 tahun 2018. Inpres ini mengatur penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa awit guna meningkatkan tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan.

Ketua Umum Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SERBUNDO) Herwin Nasution mengungkapkan, jumlah buruh perkebunan kelapa sawit yang besar seharusnya menjadi salah satu perhatian pemerintah. Hal ini dalam konteks evaluasi tata kelola perkebunan sawit.

“Sejak awal kami melihat Inpres moratorium ini tidak menempatkan kondisi buruk buruh perkebunan sawit di Indonesia menjadi salah satu hal yang sangat penting dievaluasi,” ujarnya.

Menurut dia, ratusan anggota SERBUNDO di Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan menjadi korban PHK tanpa perlindungan dari pemerintah. “Penghalang-halangan kebebasan berserikat juga marak terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Dalam konteks evaluasi tata kelola, tindakan perusahaan melakukan PHK dan penghalangan kebebasan berserikat seharusnya menjadi perhatian pemerintah,” kata Herwin menegaskan.

Editor: Aria Triyudha

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini