Peneliti Formappi Lucius Karus | DOK PRIBADI

HARNAS.ID – Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin, Selasa (20/10/2020), genap satu tahun. Roda pemerintahan yang dipimpin kedua tokoh itu tak terlepas dari relasi pemerintah (presiden) dan parlemen.

Dua lembaga tinggi ini punya kewenangan setara di negara, yang membedakan yakni dari sisi fungsi. Presiden sebagai eksekutor, sedangkan parlemen legislator dengan peran utama lain melakukan pengawasan terhadap pemerintah dan juga budgeting.

Sebagai lembaga yang sama-sama berkuasa, hubungan keduanya sangat menentukan. Parlemen dan pemerintah dalam sistem demokrasi menjalin hubungan check and balances. Pola hubungan ini diciptakan untuk mencegah penumpukan dan penyalahgunaan kekuasaan, serta mengantisipasi kesewenang-wenangan.

Selalu ada batas bagi sebuah kekuasaan ketika ada pihak lain yang setara selalu menjadi penyeimbang dan pengontrol. Dengan paradigma di atas, kita bisa menilai bagaimana pemerintahan Jokowi-Ma’ruf di tahun pertama periode 2019-2024 ini.

Secara umum bisa dikatakan Jokowi berhasil menyiapkan kondisi yang membuatnya leluasa sebagai eksekutor. Keberhasilan Jokowi itu ditandai dengan dominan koalisi pendukungnya di parlemen, lembaga yang mempunyai kekuasaan setara tetapi berfungsi sebagai penyeimbang.

Keberhasilan Jokowi itu tentu saja buah dari kepercayaan rakyat pada saat pemilu yang memberikan suara lebih banyak kepada parpol pendukungnya ketimbang ke kelompok koalisi. Selain hasil proses demokrasi pemilu, strategi politik Jokowi memberikan andil bagi semakin kuatnya pendukung di parlemen.

Kredit untuk Jokowi ini terkait dengan suksesnya ia menarik Partai Gerindra yang menjadi kekuatan oposisi dominan di kelompok yang bersebrangan dengan pemerintah. Dengan masuknya Gerindra, maka kekuatan Jokowi menjadi semakin sempurna.

Di satu sisi, keberhasilan Jokowi patut diapresiasi karena secara politik mampu menunjukkan kepiawaiannya sebagai politikus untuk mengambil peran sebagai kunci bagi sikap politik parpol-parpol parlemen.

Akan di tetapi di sisi lain, kepiawaian Jokowi menarik Gerindra juga menjadi ‘lonceng kematian dini parlemen’ sebagai lembaga penyeimbang. Ya, setelah dominasi koalisi sudah semakin sempurna, parlemen menjadi macan ompong yang tak berkutik di hadapan pemerintah.

Parlemen cenderung menjadi stempel bagi keinginan-keinginan pemerintah. Inilah yang menjelaskan kenapa ambisi presiden melalui Omnibus Law bisa dengan mudah diselesaikan. Padahal, secara umum kinerja legislasi parlemen sangat buruk, tetapi pada RUU yang menjadi fokus pemerintah, DPR bisa ngegas membahasnya sesuai dengan yang diinginkan pemerintah.

Akumulasi kekuasaan yang sudah dibangun Jokowi setahun terakhir menghilangkan secara sistematis peran check and balances eksekutif-legislatif. Pun ketika kekuatan menjadi terakumulasi pada satu gelombang koalisi, maka potensi melakukan penyimpangan kekuasaan menjadi terbuka.

Jokowi merasa seolah-olah pemilik republik, pemegang kebenaran, sehingga apapun yang ia katakan adalah kebenaran. Parpol pendukung mem-backup secara politis agar kecenderungan kekuasaan yang menyimpang itu tak terlihat tidak demokratis.

Maka, parlemen tetap seolah-olah menjadi lembaga penyeimbang walau yang dihasilkan adalah mengikuti apa mau pemerintah. Potensi penyalahgunaan kekuasaan menjadi hal yang paling mungkin akan terjadi beberapa tahun ke depan. Bukan hanya terkait pembungkaman suara kritis, tetapi korupsi, dinasti politik, dan lain sebagainya akan bisa tumbuh dengan subur.

Oleh: Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini