Dewan Pendiri Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Ir Hj Nurul Candrasari Masjkuri, M.Si | IST

HARNAS.ID – Suatu negara dengan ideologi yang dianutnya pada dasarnya akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di negara tersebut, termasuk dalam hal penerapan hak-hak asasi masyarakatnya. Konsep Hak Asasi Manusia saat ini pada dasarnya berpijak dari tiga aliran HAM yaitu Individualistis, Marxisme, dan Integralistis. Lalu, aliran HAM manakah yang dianut Indonesia? Sebelumnya, sekilas penjelasan tentang tiga aliran HAM.

Aliran Individualistis

Paham individualistis ini seringkali dikenal juga dengan paham liberalisme (kebebasan) yang dikenalkan oleh John Locke dan Jan Jaques Rousseau dan dikutip oleh Max Boli Sabon dalam bukunya Hak Asasi Manusia, adalah paham yang mengatakan bahwa manusia sejak dalam kehidupan alamiah (status naturalis) telah mempunyai hak asasi, termasuk hak-hak yang dimiliki secara pribadi. Hak manusia meliputi hak hidup, hak kebebasan dan kemerdekaan, serta hak milik (hak memiliki sesuatu).

Aliran Marxisme

Paham Marxisme menurut Mujaid Kumkelo, dkk dalam bukunya Fiqh HAM (Ortodoksi dan Liberalisme Hak Asasi Manusia dalam Islam) adalah paham yang diambil dari filsuf Karl Marx, di mana paham tersebut menolak teori hak-hak alami, karena suatu hak adalah kepemilikan negara atau kolektivitas (respository of all rights). Mengutip pendapat dari Teguh Presetyo tentang aliran marxisme dalam bukunya Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, sebuah filsafat yang tidak boleh statis, tetapi harus aktif membuat perubahan-perubahan karena yang terpenting adalah perbuatan dan materi, bukan ide-ide. Menurut Marx, manusia selalu terkait dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan yang melahirkan sejarah. Menusia adalah makhluk yang bermasyarakat, yang beraktivitas, terlihat dalam suatu proses produksi. Hakikat manusia adalah kerja (homo laborans, homo faber). Jadi ada kaitan yang erat antara filsafat, sejarah, dan masyarakat. Pemikiran Marx ini dikenal dengan Materialisme Historis atau Materialisme Dialektika. Masih dari sumber yang sama, dengan jalan pikiran ini pula Marx menjelaskan pandangannya tentang teori pertentangan kelas, sehingga pada perkembangan berikutnya melahirkan Komunisme.

Aliran Integralistis

Paham integralitas adalah konsep negara yang dipaparkan oleh Soepomo, yang menurutnya negara adalah hukum, di mana jika negara berbahagia, berarti dengan demikian itu adalah kebahagian bagi tiap individu dan golongannya juga, karena individu dan golongan tersebut cinta kepada tanah air. Dengan demikian, hak yang berasal dari manusia sebagai otonomi sendiri adalah hal yang bertentangan menurut prinsip integralistis, karena kepentingan individu adalah kepentingan negara, begitu juga sebaliknya. (Pidato Soepomo dalam sidang Badan Persiapan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 31 Mei 1945. Lihat Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei – 22 Agustus 1945).

Kemudian kita juga perlu memahami mengenai konsep generasi Hak Asasi Manusia (“HAM”) yang berkembang di dunia, Max Boli Sabon membagi menjadi tiga generasi yaitu :

Generasi pertama, di mana di dalamnya mencakup Hak Sipil dan Politik (“Hak Sipol”) adalah hak untuk menentukan nasib sendiri; hak untuk hidup; hak untuk tidak dihukum mati; hak untuk tidak disiksa; hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang; hak atas peradilan yang adil, independen, dan tidak berpihak.

Dalam Hak Politik contohnya adalah hak untuk berekspresi atau menyampaikan pendapat; hak untuk berkumpul dan berserikat; hak untuk mendapatkan persamaan perlakuan di depan hukum; hak untuk memilih dan dipilih; hak untuk duduk dalam pemerintahan.

Hak Sipol ini dituangkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) (“UU Sipol”).

Mengutip dari bukunya Nomoi, Plato menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik ialah yang diatur oleh hukum. Kemudian dikembangkan oleh Aristoteles, yang menyatakan bahwa suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum, dan menurut Aristoteles, bahwa yang memerintah dalam negara bukanlah manusia tetapi pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik-buruknya suatu hukum.

Berdasarkan hal tersebut, maka esensi dari negara hukum menurut Sjahran Basah bahwa kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara itu terletak pada hukum, atau tiada kekuasaan lain apapun, terkecuali kekuasaan hukum semata yang dalam hal ini di Indonesia bersumber pada Pancasila selaku sumber dari segala sumber hukum.

Sehingga berdasarkan dengan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebagai Negara Hukum yang wajib memposisikan hukum sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Posisi Indonesia sebagai Negara Hukum dapat ditemukan dalam dalam penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen disebutkan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat), yang berarti Indonesia berdasarkan hukum dan tidak berdasarkan pada kekuasaan semata (machtsstaat). Hal tersebut, kembali dipertegas pada amandemen UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan ketentuan konstitusi tersebut, maka negara Indonesia diperintah berdasarkan hukum yang berlaku, termasuk penguasa pun harus tunduk pada hukum yang berlaku.

Akan tetapi, bekerjanya hukum di Indonesia saat ini implementasi konsep negara hukumnya masih hanya sebatas formalitas belaka. Ini dapat disaksikan, pada satu sisi, muncul berbagai kecendrungan perilaku anggota masyarakat yang sering menyimpang dari berbagai aturan yang dihasilkan oleh negara, dan ini ditandai dengan meningkatnya kriminalitas hingga tingkat mencemaskan bahwa meningkatnya kriminalitas meningkat baik secara kuantitas dan kualitas serta intensitas. Kejahatan-kejahatan saat ini nampak lebih terorganisir, serta di luar peri kemanusiaan dilakukan dengan sangat kejam terhadap korban-korbannya.

Indonesia yang menerapkan ideologi Pancasila di mana dalam hal ini tujuannya agar dapat mengimplementasikan HAM dengan baik sesuai dengan sifat-sifat dasar dari ideologi tersebut, menurut ideologi Pancasila, hak-hak asasi setiap rakyat Indonesia pada dasarnya diimplementasikan secara bebas. Akan tetapi kebebasan tersebut dibatasi dengan hak asasi orang lain. Sehingga walaupun terdapat kebebasan, namun kebebasan tersebut harus bertanggung jawab dengan memperhatikan dan tidak mengganggu hak asasi orang lain. Namun dalam realitasnya hal inipun belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh rakyat Indonesia.

Bergulirnya era reformasi, memunculkan berbagai produk hukum dengan harapan dapat memperbaiki kondisi hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak sipil dan politik. Antara lain, UUD 1945 pasal 28A sampai pasal 28J, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, UU Pers, UU tentang HAM (UU No. 39 Tahun 1999), UU Pemilu, UU Parpol, hingga UU Otonomi Daerah.

Dari sisi politik, Rakyat Indonesia sepertinya mendapat kebebasan politik di mana ada empat kebebasan dasar, yaitu hak atas kebebasan berekspresi dan berkomunikasi, hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berorganisasi, dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan.

Namun faktanya, masalah penerapan HAM dalam beberapa upaya pengusutan pelanggaran HAM berat di Indonesia selama ini berjalan tertatih-tatih dan hampir tak ada penyelesaian akhir. Masyarakat menyaksikan di beberapa episode bagaimana upaya pengusutan-pengusutan Peristiwa HAM di antaranya peristiwa Trisakti-Semanggi, Peristiwa Kerusuhan yang terjadi pada bulan Mei 1998, hingga Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa. Ketidakmampuan penuntasan masalah HAM, dan ini menimbulkan pertanyaan di masyarakat terkait dengan keseriusan pemerintah dalam mengusut masalah tersebut.

Kebebasan politik yang dituangkan dalam UU ternyata oleh masyarakat Indonesia belum diimbangi dengan perlindungan hukum yang seharusnya bagi hak-hak sipil, seperti, hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak atas kebebasan dari penyiksaan, atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hak atas pemeriksaan yang adil dan proses hukum yang semestinya, lihat kasus Habib Rizieq yang saat ini di proses tanpa berkeadilan, sehingga menafikan hak atas perlakuan yang sama di depan hukum. Belum lagi beberapa kasus lama dalam kasus pelangggaran HAM dan sejumlah kasus dari berbagai daerah, seperti, Poso, Papua, Jakarta, dan tempat-tempat lain di Indonesia, dilaporkan masih terjadi kekerasan horisontal yang melibatkan unsur-unsur polisi dan militer.

Hal yang memprihatinkan, seringkali dalam peristiwa kekerasan horisontal, aparat keamanan seakan-akan dibuat tidak berdaya melindungi kelompok-kelompok yang menjadi sasaran kekerasan tersebut. Sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti, kasus pembunuhan, penculikan, penahanan sewenang-wenang terhadap beberapa oknum yang sampai hari ini terjadi kembali dan belum memperoleh penanganan yang adil. Dan hari ini satu kasus kembali terjadi peristiwa penembakan terhadap 6 laskar FPI yang masih dalam proses pencarian fakta

Negeri ini nampaknya sedang mengalami penyakit teramat fatal dan serius. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya issue-issue yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim beberapa melakukan ketidakadilan karena pada kenyataannya bukan rahasia umum praktek yang terjadi pada masyarakat biasa (miskin) akan sangat sulit mendapatkan keadilan di ruang pengadilan. Praktek hukum di Indonesia berjalan dengan diskriminatif dan masih berpihak kepada golongan tertentu yang memiliki uang dengan mudah mendapatkan keadilan, dan keputusan pengadilan sebatas diukur dengan mata uang. Inilah yang saat ini terjadi yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam ruang peradilan, pertimbangannya lebih kepada berapa jumlah uang yang disodorkan untuk sebuah kasus dibanding pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.

Dari hal tersebut, kehidupan hukum terjadi tak terarah. Keterpurukan hukum di suatu negara, akan berdampak negatif yang akan dengan sendirinya mempengaruhi sektor kehidupan lain misalnya kehidupan ekonomi, politik dan budaya. Apapun upaya para pakar ekonomi maupun politik dalam mengatasi masalah dan keterpurukan ekonomi dan politik, menjadi sia-sia belaka ketika keterpurukan hukum masih terus terjadi. Sudah saatnya negeri ini menegakkan hukum agar hukum benar-benar menjadi panglima dalam setiap dimensi kehidupan bernegara.

Ir Hj Nurul Candrasari Masjkuri,M.Si. adalah Dewan Pendiri Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini