TITIK BALIK
“Kerja (penebang liar,red) seperti ini itu sukanya cuman duitnya itu banyak, dukanya ya seperti ini” ucap Anwar (54), salah satu mantan penebang liar di Dusun Pangkalan Buton, Sukadana, Kanyong Utara, Kalimantan Barat.
Terlihat raut muka penyesalan dari Anwar, saat ia menceritakan kisah hidupnya ketika masih menjadi penebang liar atau logger kala itu. ”Malas saya untuk balik lagi sudah tua juga, cukup lah anak pun sudah selesai kuliah semua, yang satu di Jogja, yang satu di Magelang sedang ambil tekhnik lingkungan,” ujar Anwar.
Rasa malas yang disampaikan Anwar tersebut bukanlah tanpa alasan, dari sepenggal kisahnya yang diceritakan saat menjadi Penyenso, (sebutan masyarakat sekitar,red), membuat pria dengan aksen melayu itu bertekad berhenti dari aktivitas yang dikerjakannya sejak tahun 1987. Dirinya mengaku pernah melarikan diri selama satu pekan, sehingga berdampak besar pada kehidupannya saat itu.”Saya itu pernah jadi bos penebang, saya pernah masukan delapan mesin chainsaw (gergaji rantai,red) (yang artinya delapan anak buah,red), di tahun 2004. Jadi saat itu tim besar – besaran dari Jakarta datang untuk membeli kayu, saya itu sudah timbun kayu di hutan Matan (salah satu lokasi hutan yang berada di hulu Kayong Utara,red). Dari situ saya bisa bangun rumah tinggal dalam hitungan satu minggu dari hasil tebang dengan nilai ratusan juta,” lanjut Anwar saat ditemui dikediamannya.
“Tapi saat jaya – jayanya itu saya pernah punya hutang ke bos toko, karena tidak mampu bayar untuk bahan bakar chainsaw, upah pekerja, dan lain – lain, kan mereka tidak mau tahu. Jadi saat itu saya jual rumah yang sudah saya bangun tadi, hancur semuanya, saya jual sekitar Rp25 jutaan waktu itu karna butuh untuk membayar semua hutang – hutang saya. Karena sebagian kayu – kayu yang saya timbun itu tidak berhasil terjual, sebab daerah saya itu kabarnya akan mau ada penyergapan. “Kerja (penebang liar,red) seperti ini itu sukanya cuman duitnya itu banyak, dukanya ya seperti ini,” pungkasnya.
Menghindar dari penyergapan bukan satu – satunya alasan Anwar berhenti menebang. Ada faktor penting menurutnya ketika memutuskan pensiun dari kegiatan yang sudah dijalaninya sejak lulus SMA itu. “Saya memikirkan hutan saya dan gunung di tempat saya kerja dan tinggal. Tidak mungkin seterus – terusnya seperti ini,” ucap Anwar. Walau tak ada larangan dari sang istri saat masih menebang, Ida (47) sangat bersyukur dengan keputusan suaminya untuk berhenti menjadi penebang liar. “Pertama sih enggak ngelarang, kan kerjanya dari disitu buat makan. Pernah ada ketakutan pastinya, resiko penebang ini kan banyak. Pernah dia cerita, kawannya mati tertimpa kayu, disitulah dia bilang trauma,” sampai Ida.
Sekitar tahun 2020 merupakan titik mula Anwar menjadi pribadi yang baru, rasa malu sempat menghiasi pikiran pria yang pernah memiliki kapal ikan ini untuk berhenti menebang. “Saya kan kini ditunjuk menjadi ketua RT (Rukun Tetangga,red), malu lah ketika ditanya Warga apa pekerjaan saya,” ucap Anwar sembari tersenyum lebar.
RASA TAKUT
JIka salah satu penyebab pensiunnya Anwar dari penebang liar karena merasa malu dengan para tetangganya, lain hal lagi dengan Amir (39), mantan logger asal Sukadana yang menggantungkan gergaji mesinnya (pensiun,red) itu justru takut tertangkap oleh polisi hutan. ”Kita bisa saja mencuri, tapi kan lama – kelamaan pasti tertangkap,” ucap ayah tiga orang anak ini. Sebelum menebang pohon secara ilegal, Amir bekerja sebagai kernet pasir untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Ia mulai mengenal aktivitas penebangan pohon secara ilegal itu dari sang paman. “Waktu itu masih bujangan, ikut paman nebang cuman saya masih angkut – angkut saja,” sampainya. “Waktu itu dibayar Rp2.000 per batang dari yang saya angkat, itu sekitar tahun 2014, jadi sehari bisa dapet Rp40.000,” sambungnya.
Gunung Sesawak merupakan tempat pertama kali Amir mulai menebang liar secara mandiri. “Sekitar tahun 2016 Paman saya meninggal dan saya beli tuh chainsaw milik paman dengan harga Rp1 juta. Waktu itu pohon pertama yang saya tebang itu pohon Nyatoh,” ucap Amir. Saat menjadi logger, Anwar mampu mengantongi Rp2 juta dalam satu minggu, tentunya nominal yang sangat jauh ketika ia menjadi kernet pasir yang hanya mendapatkan Rp100 ribu per harinya, dan itupun tak didapatkan Amir setiap hari saat menjadi kernet pasir. “Dalam satu pohon itu bisa lah dapet Rp2 jutaan dalam seminggu, dan saya pun menjualnya hanya untuk orang – orang sekitar sini saja,” lanjutnya. Amir bahkan tidak mengetahui kalau aktivitasnya itu merupakan hal yang ilegal. “Dulu kan kita belum tahu kalau ini itu ilegal, dulu itu banyak orang yang nebang, orang itu kesini semua (Gunung Sesawak,red). Karna Daerah ini paling “mewah” untuk penebang karna belum ada petugas. Lalu tak lama banyak petugas yang mulai naik untuk memantau. ”Kita bisa saja mencuri, tapi kan lama – kelamaan kan pasti tertangkap,” pungkasnya.
GAYUNG BERSAMBUT
Senada dengan apa yang ditakutkan Anwar dan Amir ketika memutuskan berhenti dari aktivitas yang mampu menghasilkan puluhan juta dari setiap pohonya ini, yaitu bagaimana cara mereka mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya setelah tidak lagi menjadi logger? Sebuah pertanyaan besar, ketika tidak mudah untuk mengubah kebiasaan dan merubah alih profesi seseorang. Agus Novianto, Koordinator Chainsaw BuyBack (CBB) Alam Sehat Lestari (ASRI), menjelaskan ketika ASRI masuk ditengah Masyarakat khususnya di Sukadana, Kayong Utara, Kalimantan Barat, yang populasi masyarakatnya hanya sekitar 30.779 jiwa (pada tahun 2021) atau dengan kepadatan penduduknya adalah 68 jiwa per kilometer persegi ini, mengaku kesulitan untuk mendekati para logger tersebut. “Kendala yang dihadapi selama ini bahwa tidak semua logger yakin atau mampu untuk beralih mata pencaharian yang baru. Kebanyakan para logger mewarisi keahlian dari orang tua mereka dan tingkat pendidikan relatif terbatas,” tutur Agus kepada harnas.id
Pendekatan demi pendekatan secara persuasif pun dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sudah hadir sejak tahun 2007 ini. Salah satunya dengan memberikan bantuan modal usaha serta membeli gergaji mesin para logger yang lalu dikenal dengan program Chainsaw BuyBack (CBB). “Program CBB ini bertujuan mengurangi logger yaitu orang yang melakukan penebangan pohon di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) secara illegal. Logger dianggap sebagai indikator monitoring jika kegiatan penebangan dilakukan di dalam kawasan TNGP, kayu yang diambil atau dihasilkan berupa cerucuk, balok dan papan, dan hasil penebangan digunakan secara komersial. Logger dapat berasal dari Dusun yang berbatasan maupun tidak berbatasan langsung dengan kawasan TNGP,” ujar Agus.
Dalam program CBB, ASRI memberikan bantuan pinjaman sebesar Rp6 juta dan membeli alat gergaji mesin para logger sebesar Rp4 juta. ”Total bantuan untuk usaha R10 juta dengan rincian harga chainsaw Rp4 juta dan pinjaman usaha Rp 6 juta tanpa jaminan, tanpa denda, tanpa bunga, yang harus dikembalikan dalam dua tahun. Modal Rp10 juta di belanjakan semua bersama-sama antara kedua belah pihak. Setiap bulannya mendapatkan pendampingan usaha sekaligus pengutipan angsuran pinjaman modal usaha,” ucap Agus.
Tercatat ada sekitar 317 orang yang sudah mengikuti program tersebut. Jika ditemukan masih adanya mantan logger yang masih menebang, ASRI akan menyerahkan permasalahan tersebut kepada pihak yang berwajib. “Sanksi ada di surat perjanjian Chainsaw Buyback (Surat Perjanjian Kerjasama UMKM Melalui Program Chainsaw Buyback,red) yang di tanda tangani oleh ASRI, Balai TNGP dan logger berupa melaporkan dan proses ke pihak berwajib. Pinjaman terus di kutip walaupun usaha bangkrut atau beralih karena ini mata pencaharian keluarga, dan dilakukan pendampingan setiap bulan serta mengikutsertakan pelatihan – pelatihan,” pungkas Agus.
LEMBARAN BARU
Lain Anwar lain pula Amir ketika mengelola bantuan yang diberikan oleh ASRI. Tentunya jika dilihat dari segi pendapatan sangat berbeda dengan aktivitas mereka sebelumnya, namun apa yang dirasakan Amir ini merupakan pekerjaan yang penuh dengan ketenangan dan keberkahan. “Saya itu jual Madu Kelulut dibawah harga pasaran, karena saya cari lancar dan keberkahan juga didalamnya, bisa bantu orang supaya bisa mengkonsumsi madu,” ucap Amir saat ditemui dikediamannya. Awal mula Amir memutuskan menjadi peternak madu pun tak berjalan mulus, ia sempat mencoba menjadi peternak ayam namun gagal, sebab ayam yang ia pelihara terkena penyakit. ”Awalnya iseng dari temen yang sudah usaha madu, jadi saya beli sarangnya dari teman. Harganya itu Rp240 ribu per saranganya. Lumayan setiap 15 hari sudah bisa panen dan tergantung cuaca juga,” sambungnya.
Kini Amir memiliki puluhan sarang madu yang tersebar tak jauh dari kediamannya. “Saya jual disekitaran sini saja, harganya Rp100 ribu per botol. Selagi nunggu hasil panen saya sambil ngarit rumput, lumayan buat tambahan, kan sekarang anak saya tiga, yang besar sudah tamat SMA, yang kedua kelas tiga SMP, dan yang kecil masih umur lima tahun,” pungkas Amir.
Bagi Anwar dan Istri menjadi peternak ayam bukanlah barang baru, hal itu dikarenakan sang istri sudah mulai berternak ayam ketika Anwar masih menjadi logger. “ASRI ke rumah sekitar tahun 2020, lalu saya mengusulkan, saya bisa berhenti cuman saya butuh kandang baru,” ucap Anwar. Bantuan yang diberikan ASRI pun digunakannya untuk menambah kandang ayam, kini Anwar telah memiliki tiga kandang ayam. “Pendapatan saya itu rata – rata Rp8 juta per bulan, panennya itu setiap 40 hari. Jeda kandang satu minggu untuk dibersihkan dulu, lalu diisi ayam baru lagi, lalu panen lagi 40 hari,” tutur Anwar.
TENTANG ASRI
Program Chainsaw Buy Back (CBB) yang dibuat oleh ASRI ini termasuk dalam program “Alternative livelihoods” atau alternatif mata pencaharian, yang berangkat dari sebuah keresahan menghilangnya kawasan hutan dan berubah menjadi kawasan lain atau yang disebut dengan deforestasi. Deforestasi di sekitar hutan Kalimantan terjadi karena ketergantungan masyarakat terhadap hutan. Ketergantungan ini disebabkan oleh mudahnya akses terhadap penebangan kayu, tingginya permintaan kayu, kurangnya sumber daya untuk mata pencaharian lain, serta rendahnya pendidikan dan keterampilan.
Memahami permasalahan tersebut, ASRI berpendapat bahwa pendekatan yang represif tidak akan menyelesaikan masalah dan bukan solusi yang berkelanjutan. Oleh karena itu, ASRI bekerja sama dengan Balai Taman Nasional Gunung Palung menawarkan solusi yang memungkinkan para penebang kayu untuk berhenti dari pekerjaannya dan beralih ke mata pencaharian lain yang sesuai dengan minat dan keterampilannya. Untuk memastikan dana modal tidak digunakan untuk kegiatan konsumtif, ASRI tidak menyediakan dana tunai, melainkan membeli bahan-bahan untuk pendirian usaha bersama mitra.
Program ini juga dipandang sebagai solusi berkelanjutan karena adanya pemantauan berkala serta pendampingan dan dukungan dalam pengembangan usaha baru. Selain mengurangi deforestasi di salah satu taman nasional di Indonesia, program ini juga mengurangi risiko kesehatan dan keselamatan bagi para mantan penebang dan keluarganya.
Dengan adanya Chainsaw Buyback yang diikuti sekitar 317 penebang yang menyerahkan gergaji mesin, diperkirakan lebih dari 125.778 pohon besar telah dilindungi. Pohon-pohon yang paling banyak ditebang oleh para penebang di sekitar hutan sebagian besar adalah pohon-pohon langka dan bernilai tinggi seperti Bengkirai, Meranti, Nyatoh, Ulin, Ubah, Medang dan Keladan.
Hilangnya pohon-pohon besar dapat menjadi ancaman besar bagi kelangsungan hidup satwa endemik seperti Orangutan dan Burung Rangkong Gading. Maka dengan berkurangnya aktivitas penebangan pohon, diharapkan pepohonan akan tetap berdiri memberikan kehidupan bagi hewan dan manusia disekitarnya. Inovasi ini melengkapi upaya pencegahan deforestasi yang dilakukan ASRI dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Palung, selain upaya reboisasi dari bibit yang dibiayai oleh pasien yang mengakses layanan kesehatan di Klinik ASRI.
(sumber :https://www.alamsehatlestari.org/program/alternative-livelihoods)
Penulis : Rangga Firmansyah
Editor : Edwin S
Liputan ini merupakan bagian dari program beasiswa peliputan yang diadakan oleh ASRI dengan berkolaborasi bersama AJI Kalimantan dan beberapa media.