Perjuangan Warga Relokasi Dalam Mencari Sesuap Nasi

(Misbah saat menggambil rumput di salah satu Sawah milik Warga Kp. Pasir Purut/Rangga Firmansyah/harnas.id)

LAHAN BARU

“Lebih baik rumah jelek tapi makan gampang, daripada sekarang rumah bagus tapi makan kadang – kadang,” itulah sautan Wiwi Istri Misbah (60) dari dapur saat saya bertamu dikediamannya yang berlokasi di Kampung. Pasir Purut, Rt.01/07, Gadog, Megamendung, Kabupaten Bogor. Memang benar, terlintas di dalam benak saya saat menyambangi sebuah komplek yang disebut – sebut berasal dari relokasi Kampung Pasir Purut yang terkena dampak dari Bendungan Ciawi ini, terlihat cukup mewah. Rata – rata bangunan rumah di sana memiliki dua lantai. Namun siapa sangka kehidupan dari sebagian mereka ternyata tidak semewah bangunan rumahnya, Misbah adalah salah satunya. Dahulu, bapak dari enam orang anak ini mempunyai 18 ekor kambing dan sebuah kebun dengan total luas tanah dan rumah sekitar 237m. “Ada dua kandang, yang satu kandang punya saya untuk dijual, yang satu kandang lagi diisi sama kambing titipan orang. Dulu itu usaha kambing potong, dijual paling murah itu sekitar Rp.2juta/ekor,” ujar Misbah saat berbincang dikediamannya.

(Komplek hasil relokasi Kp. Pasir Purut diambil dari foto udara/Rangga Firmansyah/harnas.id)

Kini keadaannya terbalik, dahulu Misbah adalah seorang juragan ternak kambing, kini ia hanya menjadi seorang pencari rumput untuk pakan ternak milik temannya. Tentu hal ini bukan tanpa sebab dan alasan, uang hasil pembebasan lahan dari Proyek Bendungan Ciawi yang berjumlah sekitar Rp.530juta itu habis untuk membangun rumah dan kebutuhan sehari –hari selama dia dan keluarganya berpindah. “Membangun rumah ini kurang lebih 3 bulan, habislah sekitar Rp.200jutaan untuk ngebangun rumahnya saja, beli tanah di sini Rp.80juta sekitar luas tanah 100meteran, bikin sumur Bor Rp.7jutaan, terus nambahin buat bangun rumah anak yang di bawah, selama pembangunan rumah kan gak ada pekerjaan, jadi sehari – hari ambil dari uang itu (Rp.530juta,red), ya sekarang tinggal sisa – sisanya aja,” ucap Misbah.

(Misbah dengan hasil sekarung rumput liar dengan berat mencapai puluhan kilogram/Rangga Firmansyah/harnas.id)

Penghasilan Misbah kini tergantung dari hasil penjualan ternak kambing milik temannya dan itupun dibagi dua, belum lagi terkadang pembayarannya terkadang telat. “Istilahnya maro, semisal harga modal beli kambing itu 1,5juta terus laku terjual 2,5juta, nah yang untungnya itu Rp.1juta dibagi dua, jadi saya kebagian Rp.500ribu/ekornya. Modalnya itu yang punya temen saya, jadi anggap saja Rp.500ribu itu upah saya ambil rumput,” sampainya. Jika dihitung dari total kambing yang dimiliki temannya sebanyak 10 ekor, maka Misbah akan mendapatkan rata – rata pendapatannya sebesar Rp.5juta, dan diketahui masa panen kambing siap jual itu dikisaran 6 bulan atau 1 tahun lamanya bagaimana bibit awal hewan kambing tersebut. Jadi bisa dihitung dan dilihat berapa pendapatan rata – rata per bulan dari Misbah.

(Misbah saat memberikan pakan rumput di kendang milik temannya/Rangga Firmansyah/harnas.id)

Kini Misbah tinggal bersama Istri dan dua orang anaknya. Miris, anak terakhirnya Siti Yuliani (17) harus berhenti sekolah akibat tidak adanya biaya. “Harusnya yang bungsu (anak terkahir,red) ini kelas 1 SMA, berhubung gak ada biaya ya terpaksa dirumah aja. Sekarang bisa aja masuk sekolah dipaksain, untuk sehari –harinya darimana, sedangkan ini jauh kemana – kemana harus naik ojek, yang mahal dan sulit itu kan hari – harinya,”sambung Misbah.

 TERISOLIR

(Siswa SD Cibogo terpaksa melewati jalan setapak dipinggir proyek Bendungan Ciawi/Rangga Firmansyah/harnas.id)

Alasan Misbah dan istri untuk tidak menyekolahkan anak terakhirnya dikarenakan jarak, memang benar adanya. Hal ini juga dirasakan oleh para anak dari Warga Kampung. Pasir Purut yang hendak berangkat ke Sekolah Dasar (SD) , jarak yang ditempuh pun lumayan jauh sekitar 15 – 20 menit berjalan kaki atau setara 1,5 kilometer kurang lebih, selain itu anak dan para ibu yang mengantar harus melewati sisi bendungan. “Akses ke sekolah itu harus lewat Bendungan, ada dua jalan, lewat pinggir selokan sama lewat jembatan yang ada aliran sungainya. Kalau lewat jembatan agak jauh, makanya terkadang lewat pinggiran selokan. Kasian anak harus kepanasan ya kalau hujan kehujanan,” ucap Janah salah satu Warga Kampung. Pasir Purut yang juga anaknya bersekolah di SD Cibogo. Janah pun menyesalkan adanya jam buka – tutup akses menuju ke sekolah.”Anak saya harus sampe gak les, soalnya kan ini kalau sore ditutup pintunya. Jadi gak bisa ikut les tambahan,” lanjutnya.

(Akses menuju jalan perlintas diberi waktu oleh pihak proyek Bendungan Ciawi/Rangga Firmansyah/harnas.id)

Kesulitan akses ini sudah beberapa kali diajukan oleh Idim, Ketua Rw 07, Kampung Pasir Purut. Ia menuturkan setiap kali pertemuan dengan pihak Desa, Idim selalu membahas terkait akses. “Warga sih minta agar dibuatkan jembatan menuju kampung sebrang dan diperbolehkan kembali untuk mobil dan motor masuk melewati Bendungan. Kan lumayan itu aksesnya bisa nembus ke Cibogo, jadi Warga kalau mau berdagang dan mengantarkan barang ke Cibogo jadi mudah, tidak harus memutar jauh,” tuturnya saat dijumpai dikediamannya.

Idim pun mengakui sejak kepindahan Warga nya di tahun 2019 silam, banyak sekali yang mengeluhkan terkait mata pencaharian dan sulitnya akses. Dari data terakhir yang dicatat oleh Idim, ada sekitar 200 Kepala Keluarga (KK) yang berada di Komplek Pasir Purut tersebut. “Saya belum update lagi, ada tiga Rt disini tuh, soalnya ada yang keluar atau pindah juga dari sini (komplek,red)”lanjut Idim. Dari 200 KK Idim mengaku ada sekitar 25 Kepala Keluarga yang tidak memiliki mata pencaharian serta yang alih profesi seperti Misbah. “25 KK itu tidak dihitung dengan yang sudah sepuh, jadi memang ada yang masih sulit dan kerja serabutan,”pungkas Idim.

DILEMA BENDUNGAN CIAWI

(Terlihat dari foto udara Bendungan Ciawi dari sisi depan/Rangga Firmansyah/harnas.id)

Seperti yang dilansir dari laman Kementrian PUPR, total luasan genangan Bendungan Ciawi sekitar 39,4 hektare, Bendungan Ciawi diharapkan mampu mereduksi banjir di DKI Jakarta dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Bendungan Ciawi ini direncanakan akan memiliki kapasitas sebesar 6.45M³ dan diharapkan dapat mengurangi debit banjir sebesar 160 M³/detik. Bendungan Ciawi ini pun merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti yang terlampir dari Peraturan Presiden (Pepres) Republik Indonesia (RI) Nomor 109 tahun 2O2O tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN). Dikutip dari laman kppip.go.id, Bendungan Ciawi menelan biaya sebesar Rp.827 Miliar dengan skema pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Lalu apakah manfaat dari Bendungan Ciawi ini bagi Masyarakat sekitar? Seperti yang didefinisikan bahwa bendungan atau waduk adalah tempat pada permukaan tanah yang berfungsi untuk menyimpan atau menampung air saat terjadi kelebihan air atau musim penghujan, kemudian air yang melimpah tersebut dimanfaatkan untuk keperluan pertanian dan berbagai keperluan lainnya pada saat musim kemarau.

(Terlihat dari foto udara Bendungan Ciawi dan Kp. Pasir Purut yang jaraknya cukup dekat/Rangga Firmansyah/harnas.id)

Taufan Suranto, Kadiv Informasi dan Komunikasi DPKLTS (Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda) menjelaskan bahwa jenis dari Bendungan Ciawi ini termasuk katagori Bendungan Pengendali Banjir. “Berbeda dengan Bendungan Jati Gede atau Jati Luhur, selain untuk pengedalian banjir, bisa juga untuk PLTA, kalau Bendungan Ciawi kan tampungannya beda tergantung dari volume dari Hulunya,” sampainya saat dihubungi melalui sambungan telepon. Ketika disinggung mengenai manfaat dan dampak bagi Masyarakat sekitar, Taufan menjelaskan perlu ada penjelasan dari “si pengelolanya” terkait rencana pembangunan proyek tersebut. “Seperti yang dialami oleh Warga sekitar Waduk Saguling, banyak warga yang terusir itu malah bikin kegiatan yang gak jelas, malah pindah ke warung remang – remang. Bahkan pesantren – pesantren yang di bawah itu hilang dan tidak bisa dibentuk lagi,” lanjut Taufan.

(Terlihat dari foto udara Bendungan Ciawi dan Kp. Pasir Purut yang jaraknya cukup dekat/Rangga Firmansyah/harnas.id)

Taufan juga menyebut terkait dokumen atau studi LARAP (Land Acquisition and Resettlement Action Plan) atau istilahnya adalah dokumen-dokumen Rencana Aksi Penyediaan Lahan dan Pemukiman Kembali. “Kaya kasus Jati Gede itu Resettlementnya banyak Itu dipindahkan ke salah satu banyak ke titik – titiknya, akhirnya kadang – kadang ada yang diberikan ganti rugi aja jadi bagaimana Masyarakat, mau dibelikan apa. Ada yang pakai konsep Resettlement, Jadi satu desa dibikinkan dan didampingi betul – betul oleh Pemerintah sampai settle kembali, institusi sosialnya berjalan lagi, sebenarnya yang bagus itu seperti itu,” pungkasnya.

Laporan ini adalah bagian dari Program Beasiswa Peliputan 2024 yang diadakan AJI Indonesia.

(Rangga Firmansyah/harnas.id)