HARNAS.ID – PT Garuda Indonesia (Persero) dilaporkan Menteri BUMN, Erick Thohir ke Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi. Laporan Erick diterima langsung oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin , Selasa (11/1/2022).
Dugaan korupsi yang dilaporkan ini terkait penyewaan pesawat ATR 72-600. Erick mengaku sudah menyampaikan bukti-bukti berupa audit investigasi terkait dugaan korupsi tersebut.
“Hari ini memang yang disampaikan pak Jaksa Agung adalah ATR 72-600. Ini juga tentu kami serahkan bukti-bukti audit investigasi. Jadi bukan tuduhan, karena kita sudah bukan eranya saling menuduh, tetapi mesti ada fakta yang diberikan,” kata Erick Thohir di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (11/1/2022).
Erick mengatakan, pelaporan ini merupakan bagian dari transformasi dan bersih-bersih BUMN. Untuk itu, Erick mengapresiasi dan berterima kasih kepada Kejaksaan Agung yang selalu mendampingi Kementerian BUMN dalam upaya membersihkan perusahaan-perusahaan pelat merah dari praktik korupsi. Sebelum dugaan korupsi Garuda, Kejaksaan Agung diketahui mengusut perkara korupsi Asabri dan Jiwasraya.
“Ini program besar yang kita sudah sepakati sejak awal tahun. Karena itu kenapa banyak bergulir sekarang program-program pembersihan ada di BUMN yang dipimpin langsung oleh pak Jaksa Agung, seperti yang tadi disampaikan mengenai Jiwasrya Asabri. Tentu konteks lainnya hari ini Garuda,” kata Erick.
Jaksa Agung ST Burhanuddin mendukung bersih-bersih BUMN yang dilakukan Erick Thohir. Terkait dugaan korupsi yang dilaporkan Erick pada hari ini, Burhanuddin mengatakan, dugaan korupsi itu terkait pengadaan pesawat ATR 72-600 yang terjadi di Garuda Indonesia saat dipimpin Emirsyah Satar.
“Untuk 72-600 ini zaman ES (Emirsyah Satar) ya. Dan ES masih ada di dalam tahanan,” katanya.
Dugaan korupsi di Garuda yang dilaporkan Erick kepada Kejagung ini menambah panjang daftar kasus korupsi di maskapai pelat merah tersebut.
KPK diketahui telah menyidik korupsi di Garuda sejak awal 2017 silam. Terdapat tiga orang yang dijerat KPK atas kasus suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat di PT Garuda Indonesia dan pencucian uang. Ketiga orang itu, yakni mantan Dirut PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar; pendiri PT Mugi Rekso Abadi (MRA) sekaligus Beneficial Owner Connaught International Pte ltd Soetikno Soedarjo; dan mantan Direktur Teknik PT Garuda Indonesia, Hadinoto Soedigno.
KPK telah mengeksekusi Emirsyah ke Lapas Sukamiskin pada 3 Februari 2021 silam setelah kasasi yang diajukannya ditolak Mahkamah Agung (MA). Di Lapas Sukamiskin, Emirsyah bakal menjalani hukuman 8 tahun pidana penjara dikurangi masa tahanan sebagaimana putusan Pengadilan Tipikor Jakarta yang dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI dan MA. Selain dihukum 8 tahun pidana penjara, Emirsyah Satar juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan serta kewajiban membayar uang pengganti sejumlah Sin$ 2.117.315,27 selama 2 tahun.
Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Emirsyah terbukti menerima suap senilai Rp 49,3 miliar dan pencucian uang senilai sekitar Rp 87,464 miliar.
Emirsyah terbukti menerima suap dari sejumlah produsen pesawat, yakni Airbus SAS, Rolls-Royce PLC, Avions de Transport Regional (ATR), dan Bombardier Inc. Untuk pemberian dari Airbus, Rolls-Royce, dan ATR diterima Emirsyah melalui Connaught International Pte Ltd dan PT Ardhyaparamita Ayuprakarsa milik Soetikno Soedarjo. Sedangkan dari Bombardier disebut melalui Hollingsworld Management International Ltd Hong Kong dan Summerville Pacific Inc.
Uang yang diterima Emirsyah dari Rolls-Royce Plc melalui PT Ardyaparamita Ayuprakarsa dan Connaught International terkait TCP mesin RR Trent 700 untuk enam unit pesawat Airbus A330-300 PT Garuda Indonesia yang dibeli tahun 1989 dan empat unit pesawat yang disewa dari AerCAP dan International Lease Finance Corporation (ILFC). Untuk uang dari Airbus terkait pengadaan pesawat Airbus A330-300/200 dan pengadaan pesawat Airbus A320 Family. Kemudian uang dari Bombardier melalui Hollingworth Management International (HMI) dan Summerville Pasific Inc terkait pengadaan pesawat Sub-100 seater Canadian Regional Jet 1.000 Next Generation (CRJ1.000NG). Sedangkan uang dari ATR melalui Connnaught International terkait pengadaan 21 pesawat ATR 72 seri 600.
Selain Emirsyah, Soetikno Soedarjo juga telah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 6 tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan. Sementara, mantan Direktur Teknik PT Garuda Indonesia, Hadinoto Soedigno yang divonis 8 tahun pidana penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan serta uang pengganti sejumlah US$ 2.302.974,08 dan sejumlah EUR 477.560 atau setara dengan Sin$ 3.771.637,58 subsider 4 tahun pidana meninggal dunia saat perkaranya masih berproses di tingkat kasasi.
Perkara korupsi Garuda yang ditangani KPK ini merupakan hasil kerja sama dengan lembaga antikorupsi Inggris, atau Serious Fraud Office (SFO) dan lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
SFO telah menginvestigasi suap yang dilakukan Rolls-Royce terhadap pejabat di sejumlah negara termasuk Indonesia. Investigasi ini membuat perusahaan manufaktur terutama mobil dan mesin pesawat asal Inggris itu membayar denda sebesar £ 497,25 juta atas perilaku korup yang mencakup tiga dekade, tujuh yurisdiksi dan tiga bisnis.
Tak hanya Rolls-Royce, SFO juga sudah menuntaskan investigasi dugaan pemberian suap yang dilakukan oleh Airbus kepada pejabat-pejabat yang ada di lima yurisdiksi, yakni Indonesia, Sri Lanka, Malaysia, Taiwan, dan Ghana pada kurun waktu 2011-2015. Investigasi itu membuat Airbus menyepakati Deferred Prosecution Agreement (DPA) atau penundanaan proses penuntutan dengan syarat Airbus bersedia bekerja sama penuh dengan penegak hukum dengan mengakui perbuatan, membayar denda, dan melakukan program reformasi dan tata kelola perusahaan.
Dalam DPA disebutkan Airbus bersedia membayar denda sejumlah 991 juta Euro kepada Pemerintah Inggris sebagai bagian dari kesepakatan global sebesar 3,6 miliar Euro yang akan dibayarkan Airbus kepada pemerintah Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat.
Sementara, Kejagung telah menyelidiki dugaan korupsi di Garuda sejak November 2021 melalui Surat Perintah Penyelidikan Nomor: Print-25/F.2/Fd.1/11/2021 tanggal 15 November 2021.
Dalam penyelidikan ini, Kejagung menduga adanya mark up pada penyewaan pesawat Garuda Indonesia yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dengan waktu perjanjian tahun 2013 sampai dengan saat ini, serta manipulasi data dalam laporan penggunaan bahan bakar pesawat.
“Membuka penyelidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan PT Garuda Indonesia berupa mark up penyewaan pesawat Garuda Indonesia yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dengan waktu perjanjian tahun 2013 sampai dengan saat ini dan manipulasi data dalam Laporan Penggunaan Bahan Bakar Pesawat,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangannya, Rabu (12/1/2022).
Leonard menjelaskan, berdasarkan rencana jangka panjang perusahaan (RJPP) tahun 2009-2014 terdapat rencana kegiatan pengadaan penambahan armada sebanyak 64 pesawat, yang akan dilaksanakan oleh PT. Garuda Indonesia baik dengan menggunakan skema pembelian (financial lease) dan sewa (operation lease buy back) melalui pihak lessor.
Sumber dana yang digunakan dalam rencana penambahan jumlah armada tersebut dengan menggunakan Lessor Agreement, dimana pihak ketiga akan menyediakan dana. Selanjutnya PT. Garuda Indonesia akan membayar kepada pihak lessor dengan cara pembayaran secara bertahap dengan memperhitungkan waktu pengiriman terhadap inflasi.
“Bahwa selanjutnya atas RJPP tersebut direalisasikan beberapa jenis pesawat,” ucap Leonard.
Sejumlah pengadaan pesawat tersebut di antaranya ATR 72-600 sebanyak 50 unit pesawat, pembelian lima unit pesawat dan sewa 45 unit pesawat. Kemudian, CRJ 1000 sebanyak 18 unit pesawat dan pembelian enam unit pesawat dan sewa 12 unit pesawat.
“Bahwa business plan procedure dalam pengadaan atau sewa pesawat di PT Garuda Indonesia adalah direktur utama akan membentuk tim pengadaan sewa pesawat/tim gabungan yang melibatkan personal dari beberapa direktorat di antaranya teknis, niaga, operasional dan layanan/niaga yang akan melakukan kajian dan dituangkan dalam bentuk paper hasil kajian,” ujar Leonard.
Berdasarkan informasi yang didapat, feasibility study (FS) disusun oleh tim atas masukan oleh direktorat terkait yang mengacu pada bisnis plan setelah dibahas dalam pembahasan anggaran harus inline dengan perencanaan armada dengan alasan feasibility/riset/kajian/tren pasar/habit penumpang yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Bahwa atas pengadaan atau sewa pesawat tersebut diduga telah terjadi peristwa pidana yang menimbulkan kerugian keuangan negara dan menguntung pihak Lessor,” tegas Leonard.
Editor: Ridwan Maulana