Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto (kedua kanan) memberikan pernyataan kepada media di sela agenda 'Politik Cerdas Berintegritas' Terpadu di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta, Senin (27/6/2022). HARNAS.ID | FADLAN BUTHO

HARNAS.ID – Calon kepala daerah yang diusung atau bernaung pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menyerahkan dana ke partai. Penyerahan dana melalui rekening resmi partai.

Demikian kata Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto di hadapan Ketua KPK Firli Bahuri dalam agenda ‘Politik Cerdas Berintegritas’ Terpadu di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta, Senin (27/6/2022). 

Hasto mengklaim dana yang terkumpul dalam rekening partai selanjutnya dikembalikan lagi ke daerah untuk dana pemenangan pemilu.

“Jadi, calon kepala daerah itu memang menyerahkan dana ke dalam rekening resmi partai, tetapi dana ini kemudian dikembalikan lagi ke daerah untuk dana pemenangan pemilu,” ungkap Hasto.

Partai berlambang kepala banteng bermocong putih ini menyadari kontestasi politik menelan biaya yang cukup tinggi. Guna menekan biaya politik yang tinggi, PDI-P membuat rekening gotong royong.

“Terkait dengan pilkada yang berbiaya mahal, Pak Firli. Kami juga sudah mencoba mengatasi dengan cara membuat rekening gotong-royong. Sehingga, beban pilkada itu tidak berada di calon,” ujar pria yang pernah diperiksa KPK terkait kasus suap penetapan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR 2019-2024 itu.

Hasto mengklaim PDI-P tidak pernah meminta ‘mahar politik’ untuk pencalonan seseorang sebagai calon kepala daerah atau anggota legislatif. PDI-P, kata dia, justru memberikan bantuan agar tidak memberatkan seseorang yang akan maju dalam Pilkada/Pileg tersebut. 

Sebagai contoh, misalnya saat Joko Widodo (Jokowi) mencalonkan sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Partai saat itu yang mencarikan dana untuk kebutuhan saksi.

“Sekiranya ada penelitian-penelitian yang komprehensif, PDI-P juga siap diadu dengan parpol lain. Karena, kami jelas bahwa tidak ada mahar politik, tetapi dengan melihat biaya pemilu yang besar, kami membuka inisiatif yang diatur dalam peraturan partai yang namanya rekening gotong royong,” kata Hasto.

Biaya besar dalam proses politik menjadi salah satu pemicu seseorang melakukan korupsi untuk memperoleh penghasilan tambahan guna menutup pembiayaan tersebut. Penelitian KPK mengungkapkan biaya yang perlu disiapkan untuk mengikuti Pilkada sebesar Rp 5-10 miliar, bahkan hingga Rp 65 miliar. 

Tak jarang pasangan calon kepala daerah mencari bantuan dari pihak ketiga dengan janji akan mengakomodasi kepentingan mereka ketika sudah menjabat kelak. Khusus untuk Pilkada 2017 dan 2018, KPK mengungkapkan 82,3 persen calon kepala daerah dibiayai sponsor.

Mengacu pada data KPK sejak 2004 hingga Januari 2022, para pelaku korupsi yang berasal dari proses politik cukup mendominasi. Tercatat 310 perkara yang melibatkan anggota DPR dan DPRD, 22 perkara yang melibatkan Gubernur, serta sebanyak 148 Wali Kota/Bupati dan Wakil diproses hukum oleh KPK.

Editor: Ridwan Maulana