Krisis Demokrasi di Korea Selatan: Presiden Yoon Suk Yeol Disorot Dunia

Harnas.id, Seoul – Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol menghadapi tekanan besar setelah mengambil langkah kontroversial dengan mendeklarasikan darurat militer—langkah pertama dalam empat dekade terakhir yang segera memicu krisis politik besar. Langkah tersebut dituding sebagai upaya untuk menghentikan penyelidikan kriminal terhadap dirinya dan keluarganya, memancing kemarahan publik dan parlemen.

Meskipun deklarasi darurat militer itu dibatalkan hanya beberapa jam kemudian oleh parlemen, krisis politik yang timbul telah mengguncang stabilitas negara dan mengundang kekhawatiran sekutu internasional, termasuk Amerika Serikat.

Pada Kamis dini hari, anggota parlemen oposisi mengajukan mosi pemakzulan terhadap Presiden Yoon, menuduhnya telah “melanggar konstitusi dan hukum.” Mereka juga mengklaim bahwa langkah darurat militer tersebut adalah strategi untuk menghindari penyelidikan atas dugaan pelanggaran hukum yang melibatkan dirinya dan keluarganya.

“Ini adalah kejahatan yang tidak dapat dimaafkan, sesuatu yang tidak boleh dan tidak akan dibiarkan,” ujar Kim Seung-won, anggota parlemen oposisi, seperti dilaporkan AFP.

Dengan mayoritas parlemen dikuasai oposisi, peluang Yoon untuk tetap bertahan terlihat semakin kecil. Berdasarkan undang-undang, parlemen harus memutuskan mosi pemakzulan ini dalam waktu 24 hingga 72 jam setelah diajukan.

Langkah Yoon mendeklarasikan darurat militer juga mengejutkan sekutu internasionalnya, termasuk Amerika Serikat, yang memiliki hampir 30.000 pasukan di Korea Selatan. Jake Sullivan, Penasihat Keamanan Nasional AS, mengungkapkan bahwa Washington tidak diberi informasi sebelumnya tentang keputusan tersebut.

“Kami lega keputusan ini telah dibatalkan. Demokrasi Korea Selatan tetap tangguh, dan kami akan terus memperkuat hubungan bilateral,” kata Sullivan.

Di dalam negeri, ribuan warga Korea Selatan turun ke jalan untuk memprotes keputusan Yoon. Demonstrasi besar terjadi di sekitar kantor presiden dan Gwanghwamun Square, di mana para pengunjuk rasa membawa bendera serta spanduk yang menyerukan pengunduran diri presiden.

“Saya begitu marah hingga tak bisa tidur semalam. Saya datang ke sini untuk memastikan Yoon benar-benar lengser,” kata Kim Min-ho, seorang warga Seoul berusia 50 tahun.

Ketegangan juga terjadi di parlemen, di mana lebih dari 280 tentara dikerahkan untuk mengamankan gedung. Namun, upaya tersebut gagal ketika 190 anggota parlemen berhasil masuk dan membatalkan deklarasi darurat militer.

Berdasarkan konstitusi Korea Selatan, parlemen memiliki kewenangan mencabut darurat militer jika mayoritas mendukung. Hal ini memaksa Presiden Yoon untuk menarik keputusannya melalui pidato yang disiarkan enam jam kemudian.

Dalam pidatonya, Yoon mengklaim bahwa langkah tersebut diperlukan untuk menghadapi ancaman dari Korea Utara dan “elemen anti-negara,” tanpa memberikan rincian lebih lanjut. Pernyataan ini memperburuk ketegangan politik, terutama setelah ia menuduh Partai Demokrat, oposisi utama, sebagai “elemen anti-negara.”

Sejak terpilih pada 2022, popularitas Yoon terus merosot tajam. Jajak pendapat terbaru Gallup menunjukkan tingkat persetujuan terhadapnya hanya 19%. Publik semakin marah atas kondisi ekonomi yang memburuk dan berbagai kontroversi, termasuk yang melibatkan istrinya.

Ketua partai penguasa, People Power Party, menyebut langkah darurat militer sebagai “tragedi,” meskipun partai tersebut tetap menolak mosi pemakzulan.

Chaerudin