Ilustrasi penegakan hukum | IST

HARNAS.ID – Pemerintah dinilai bersikap standar ganda dalam penegakan hukum kasus sengketa lahan 30 Ha di Megamendung, Bogor, Jawa Barat dan klaim pemilikan Pemda Manggarai Barat (Mabar) atas lahan 30 Ha di Toro Lema, Labuan Bajo, Mabar, NTT.

Koordinator TPDI yang juga anggota Peradi Petrus Selestinus berpendapat, sikap Pemda Bogor terhadap Habib Rizieq Shihab terkait penguasaan 30 Ha lahan milik PTPN VIII lebih beradab dan sesuai prosedur, karena mekanisme penyelesaian yang ditempuh perdata serta administratif diawali dengan somasi. Itu agar Rizieq segera mengosongkan lahan 30 Ha di Megamendung, Bogor, dengan bukti SHGU No 299 tanggal 4 Juli 2008 a/n PTPN VIII.

Sedangkan di NTT, kata dia, dengan kasus posisi yang sama, sikap pemerintah berbeda secara paradoksal. Kejaksaan Tinggi NTT menerapkan upaya hukum menuntut pertanggungjawaban pidana korupsi dengan dalil lahan seluas 30 Ha di Toro Lema, Batu Kalo, adalah milik Pemda Mabar. Padahal Pemda Mabar tidak memiliki alas hak dan bukti peralihan hak.

“Jika di Megamendung, Bogor, Jawa Barat klaim pemerintah atas lahan 30,91 Ha yang dikuasai Rizieq Shihab adalah milik PTPN VIII melalui upaya perdata dan administratif, maka di Manggarai Barat, NTT, klaim Kejaksaan Tinggi NTT atas lahan 30 Ha, sebagai milik Pemda Mabar, yang dikuasai beberapa pihak, dengan menggunakan upaya hukum pidana korupsi,” kata Petrus, Rabu (30/12/2020).

Padahal sengketa dan penyelesaiannya, kata dia, masuk ruang lingkup hukum perdata. Kejaksaan Tinggi NTT sangat diperlukan fungsinya sebagai pengacara negara, itupun jika diminta Pemda Mabar, sehingga di sinilah penyalahgunaan wewenang terjadi. Tidak ada korelasi antara dalil kerugian negara yang fiktif dan pemilikan Pemda Mabar juga fiktif. Bahkan tidak sesuai dengan wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab (KUHAP).

“Dari sejumlah dokumen yang diverifikasi dan divalidasi, terungkap fakta bahwa Pemda Mabar bukanlah pemilik lahan 30 Ha. Hal itu berdasarkan testimoni dua mantan Bupati Manggarai (Gaspar Ehok dan Anton Bagul) dan satu mantan Bupati Mabar (Fidelis Pranda), serta berdasarkan pernyataan Bupati Gusti Ch. Dula, bahwa Pemda Mabar bukanlah pemilik lahan,” ujarnya.

Dalil Kejaksaan Tinggi NTT mengkualfikasi pemilikan 30 Ha lahan sebagai tindak pidana korupsi karena ingin melindungi masyarakat kecil, merupakan pernyataan yang selama ini hanya enak didengar di telinga publik NTT, karena kasus-kasus besar selalu tidak tuntas dieksekusi. Dia meminta, Kejaksaan Tinggi NTT transparan.

Bupati Gusti Ch Dula juga harus terbuka dan tegas agar tidak ada yang terjebak dalam apa yang disebut kriminalisasi, yaitu menyulap perdata menjadi pidana dan apa “urgensi dan itikad” menuntut pertanggungjawaban pidana, jika Pemda Mabar bukan atau belum jadi pemilik lahan tersebut.

“Kata kuncinya pada bukti pemilikan lahan atas nama Pemda Mabar ‘fiktif’ sementara masyarakat kecil di atas lahan kelak diusir dan terancam dibui. Oleh karena itu, timbul dugaan ada cukong besar yang sedang berspekulasi ingin menguasai 30 Ha lahan di Toro Lema, pasca proses pidana korupsi selesai,” tuturnya.

Ini beralasan, karena kejaksaan nampak hiperaktif dengan aksi publisitas yang tinggi, saat turun ke lapangan. Namun, abai memperkuat posisi pemilikan Pemda Mabar, yang masih terbuka lebar untuk diperjuangkan melalui upaya perdata. Selama penyidikan, publik NTT berhak tahu tentang apa outputnya. Namun, hal itu tidak diperoleh, kecuali publik hanya dicekoki dengan berita yang bersifat memfitnah dan tidak mendidik dilihat dari aspek pendidikan politik bagi masyarakat NTT.

“Karena itu publik NTT berharap Kajati NTT realiatis dalan menegakan hukum secara on the track dalam kasus ini,” tuturnya.

Editor: Ridwan Maulana

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini