Mengenal Lebih Dekat Frans Kaisiepo, Siapa Dia?

Frans Kaisiepo
Mengenal Lebih Dekat Frans Kaisiepo, Siapa Dia?. Foto : Istimewa.

BOGOR, Harnas.id – Frans Kaisiepo  adalah seorang politikus Papua dan nasionalis Indonesia. Ia menjabat sebagai Gubernur Provinsi Papua keempat.

Pada tahun 1993, berdasarkan Keputusan Presiden nomor 077/TK/1993 nama Frans Kaisiepo ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia dari Papua karena usaha kerasnya untuk mempersatukan Irian Barat dengan Indonesia.

Sebagai wakil Provinsi Papua, ia terlibat dalam Konferensi Malino, di mana pembentukan Republik Indonesia Serikat dibahas.

Frans Kaisiepo

Biografi

Melansir wikipedia.org, Frans Kaisiepo lahir di Pulau Biak pada 10 Oktober 1921. Frans sempat mengenyam pendidikan di sebuah sekolah guru agama Kristen di Manokwari dan Sekolah kursus Pegawai Papua (Papua Bestuur School) di kota NICA, sekarang Kampung Harapan, Kabupaten Jayapura.

Pada tahun 1945, Frans bertemu Sugoro Atmoprasodjo di Sekolah Kursus Pegawai. Mereka dengan cepat menemukan titik temu karena dukungan bersama mereka untuk kemerdekaan Indonesia.

Kaisiepo sering mengadakan pertemuan rahasia untuk membahas aneksasi Nugini Belanda oleh Republik Indonesia.

Pada 31 Agustus 1945, ketika Papua masih diduduki Belanda, Frans termasuk salah satu orang menegakkan eksistensi Republik Indonesia dan orang pertama yang mengibarkan Bendera Merah Putih dan menyayikan lagu Indonesia Raya di Papua.

Pada Juli 1946, Frans menjadi utusan Nugini Belanda dan satu-satunya orang asli Papua pada Konferensi Malino di Sulawesi Selatan. Sebagai Juru Bicara, dia menyarankan wilayah itu disebut “Irian”, menjelaskan kata itu berarti “tempat yang panas” dalam bahasa aslinya, Biak.

Pada bulan yang sama, Partai Indonesia Merdeka didirikan oleh Frans di Biak, dengan Lukas Rumkoren sebagai pemimpin terpilih partai tersebut.

Pada Agustus 1947, Silas Papare memimpin pengibaran bendera merah putih Indonesia untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Tindakan ini mengakibatkan penangkapan semua peserta oleh polisi Belanda. Mereka dikurung selama lebih dari tiga bulan.

Selama itu Frans dan Johans Ariks mengambil peran Papare. Johans kemudian mengetahui rencana untuk mengintegrasikan Irian Barat sebagai wilayah Indonesia, alih-alih mengembangkan otonominya.

Frans terlibat dalam pemberontakan di Biak pada Maret 1948, memprotes pemerintahan Belanda. Pada tahun 1949, ia menolak penunjukan sebagai pemimpin delegasi Nugini Belanda dalam Konferensi Meja Bundar Belanda-Indonesia, karena ia merasa Belanda berusaha mendikte dia. Karena perlawanannya, dia dipenjarakan dari tahun 1954 hingga 1961.

Setelah dibebaskan dari penjara pada tahun 1961, ia mendirikan Partai Irian yang berupaya menyatukan Nugini Belanda dengan Republik Indonesia. Untuk membayangkan dekolonisasi Nugini Belanda, Presiden Sukarno berpidato yang mendirikan Trikora (Tri Komando Rakyat) pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta.

Gubernur Irian yang pertama adalah Eliezer Jan Bonay, yang menjabat kurang dari setahun (1963–1964). Bonay pada awalnya berpihak pada orang Indonesia. Namun, pada tahun 1964 ia menggunakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Jaya untuk menyerukan kemerdekaan Irian Barat sebagai negara yang terpisah; permintaan ini diteruskan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Tindakannya tersebut menyebabkan dia mengundurkan diri dari jabatannya pada tahun 1964, ketika Frans Kaisiepo menggantikannya sebagai gubernur.

Pengunduran dirinya tanpa penggantinya mengecewakan Bonay dan mendorongnya untuk bergabung dengan Organisasi Papua Merdeka yang beroperasi di pengasingan di Belanda, menjadi salah satu tokoh terkemuka dalam prosesnya.

Masa jabatan Kaisiepo sebagai gubernur Irian berupaya untuk mempromosikan Papua sebagai bagian dari Indonesia. Hal ini mendorong dukungan di dalam negara untuk opsi Penentuan Pendapat Rakyat untuk penyatuan, sebagai lawan dari kemerdekaan penuh, meskipun ada tentangan besar dari sebagian besar penduduk asli Papua. Pada tahun 1969, Irian diterima di Indonesia sebagai Provinsi Irian Jaya (kemudian Papua).

Atas upayanya mempersatukan Papua dengan Indonesia, ia terpilih menjadi anggota parlemen untuk Papua pada pemilihan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1973 dan diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Agung pada tahun 1977 sebagai wakil untuk urusan Papua.

Kaisiepo meninggal

Kaisiepo meninggal dunia pada 10 April 1979. Ia dimakamkan di sebuah lahan di seberang jalan Taman Makam Pahlawan Cendrawasih di Kampung Mokmer, Kabupaten Biak Numfor, yang sekarang menjadi Makam Pahlawan Nasional Indonesia Frans Kaisiepo.

Makam beliau dan TMP Cendrawasih terletak beberapa kilometer ke arah timur Bandara Internasional Frans Kaisiepo.

Atas pengabdian jasanya, Frans Kaisiepo dianugerahi Bintang Mahaputra Adipradana Kelas Dua oleh pemerintah Indonesia.

Frans Kaisiepo menginginkan persatuan nasional, dan bekerja untuk tujuan itu sepanjang hidupnya. Dia diangkat secara anumerta sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada peringatan 30 tahun penyerahan Papua ke Indonesia pada tahun 1993.

Nama Frans juga digunakan sebagai nama bandara lokal yang melayani Kabupaten Biak Numfor dan Supiori, yang dikenal sebagai Bandar Udara Internasional Frans Kaisiepo.

Kaisiepo juga merupakan salah satu tokoh sejarah yang terpilih untuk digambarkan dalam uang kertas rupiah Indonesia edisi 2016 baru-baru ini, khususnya uang kertas senilai Rp10.000.

Selain itu, namanya juga diabadikan di salah satu KRI yaitu KRI Frans Kaisiepo. (B. Supriyadi)