Gedung Kejaksaan Agung RI | IST

HARNAS.ID – Kejaksaan Agung (Kejagung) gencar melakukan pelelangan aset sitaan terkait dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asabri (Persero). Namun, muncul dugaan harta atau aset tersebut tidak terkait kejahatan.

Proses pelelangan ini melibatkan Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejagung. PPA sudah koordinasi ke Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai asetnya, sementara yang lelang KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang). 

Pakar Hukum TPPU Universitas Trisakti Jakarta Yenti Garnasih menilai, dasar hukum rencana Kejagung melelang sejumlah barang bukti terkait kasus Asabri tidak memadai. Itu karena Korps Adhyaksa hanya merujuk Pasal 45 KUHAP yang terbebani biaya pemeliharaan aset sitaan.

“Terlalu minim jika berpegangan pada KUHAP, sementara korupsi ini sudah di luar itu. Mestinya sudah punya perangkat sendiri, KUHAP itu untuk pidana biasa,” kata Yenti, Minggu (13/6/2021).

Sementara dugaan adanya aset yang masih berstatus utang dan tak terkait kasus korupsi, kata Yenti seharusnya tidak dipermasalahkan kejaksaan.  Artinya, tidak dapat dilaksanakan eksekusi lelangnya (non-executable). 

Putusan non-executable antara lain diatur di dalam Pasal 39 KUHAP yang mengatur bahwa terhadap pemilik barang bukti yang tidak terbukti mengadakan “permufakatan jahat” dengan pelaku tindak pidana, maka seharusnya barang bukti dikembalikan kepada yang berhak atau pemiliknya.

Jika kejaksaan mengacu pada Pasal 45 KUHP, lelang tersebut harus ada persetujuan pemilik dan harus dihadiri oleh tersangka dalam pelelangan. Namun, kejaksaan diketahui tidak menghadirkan para tersangka. 

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta Abdul Fickar senada. Menurut dia, jika tidak sesuai dengan hukum acara pelelangan itu tidak sah. Apalagi belum ada putusan pengadilan yang menyatakan barang tersebut sebagai hasil dari kejahatan atau barang bukti yang dapat diserahkan kepada negara.

“Jadi tidak sah,” ujar Fickar.

Jika ke depan hasil lelang tersebut terjadi sengketa, bisa terjadi perubahan status barang bukti itu tidak diserahkan kepada negara. Penyitaan benda yang sudah dijadikan barang bukti sebelum waktu (tempus) perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa atau terpidana baik dalam perkara tipikor maupun TPPU bertentangan dengan hukum.

“Oleh karenanya harus dikembalikan kepada yang berhak atau dari mana barang yang bersangkutan disita. Artinya JPU harus mengembalikannya kepada terdakwa atau terpidana,” katanya.

JPU sebagai eksekutor perkara pidana pun harus bertanggung jawab karena telah menjual. Jika nantinya pengadilan memutuskan mengembalikan aset kepada yang berhak yakni terdakwa, JPU harus membeli kembali barang bukti yang terlanjur sudah dijual.

Pembeli barang lelang itu pun wajib sukarela untuk menyerahkan barang milik terdakwa tersebut. Dalam konteks ini JPU harus membeli kembali barang bukti yang sudah dijual. “Kecuali terdakwa tidak masalah hanya menerima uang hasil penjualan barang lelang tersebut,” tuturnya.

Editor: Ridwan Maulana

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini